Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Wahyu toh-jali-abadi

Dalang desa dengan segala kepolosan, keunikan cerita, kejituan wawasan & humor yang tajam, penting bagi masyarakat pedesaan. dalang superstar dengan honor ratusan ribu ditanggap hanya demi menjaga gengsi.

19 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu hari Gareng, Petruk dan Bagong begitu saja -- mendapatkan diri mereka berada di alam sonya ruri, alam-antara yang tidak kenal siang atau malam, alam yang hanya dihuni oleh para lelembut. Di depan mereka duduk bagaikan batu-karang ayah mereka, Semar. Dengan bingung ketiga panakawan itu bertanya kepala ayah mereka apa yang sedang terjadi. Semar menjelaskan bahwa dia sedang memisahkan diri dari para ksatria yang biasa mereka ikuti, para pemimpin yang di atas itu. Semar ingin melihat dapatkah mereka itu hidup tanpa para panakawan. Dapatkah mereka hidup terpisah dari orang-kecil yang biasa mengikuti mereka. Maka Semar memerintahkan kepada anak-anaknya untuk menemui Arjuna mempertanyakan hal itu. Bila Arjuna berpendapat bahwa sebagai seorang ksatria-raja dia tidak dapat hidup tanpa panakawan maka dia musti berusaha mencari di mana Semar sekarang sedang berada. Siapa yang dapat menemukan Semar dan dapat berbicara dengan dia akan mendapat wejangan Wahyu Toh-Jali-Abadi. Toh berarti tanda, jali berarti bibit dan abadi . . . ya, abadi. Alkisah, demikian Semar bersabda, mereka yang mendapatkan wahyu itu akan mampu menguasai wahyu kerajaan yang sebenarnya . . . Sementara itu Batara Ismoyo, dewa tertua yang mengendon di dalam badan-kasar Semar berangkat ke Suralaya, markas-besar para dewa, ingin mengusulkan kepada Batara Guru agar dia segera menurunkan Wahyu Toh-Jali-Abadi ke dunia karena dunia sedang dalam keadaan krisis yang gawat. Para staf dewa di markas-besar dewa itu tentu saja menganggap kedatangan Ismoyo yang begitu saja tanpa belet terlebih dahulu, kurang ajar. Dewa itu ada di lapisan tertinggi birokrasi, dus kudu dihormati. Maka para dewa itu beramai-ramai mengeroyok Batara Ismoyo untuk mengusirnya kembali ke bumi. Dewa-dewa itu kalah. Mereka lupa bahwa Ismoyo sebagai dewa yang tertua yang ditugaskan untuk berada di tengah manusia akan selalu berada dalam kondisi yang paling sakti bila sekali-sekali dia naik ke Suralaya untuk mempertanyakan kepentingan yang mendesak dari para manusia biasa di bumi. Batara Guru-pun, presiden dari para dewa itu, tak akan mampu mengalahkannya . . . *** Orang yang bercerita bagaikan memberikan penataran hubungan antara, pemegang kekuasaan dengan rakyat itu bukanlah seorang pujonggo ulung yang mumpuni olah-sastra dan filsafatnya. Bukan pula seorang dalang dengan mutu virtuoso seorang Nartosabdo atau Anom Suroto yang terkenal itu. Bukan pula seorang yang baru lulus dari kursus penatar P4 di Jakarta. Dia adalah seorang dalang desa yang sederhana. Tua, sedikit kisut dan ompong, usianya merangkak mendekati 65 tahun. Dibandingkan dengan para dalang superstars honorariumnya yang cuma Rp 25.000, termasuk gamelan, pemukul gamelan dan pesinden itu pastilah hanya peanuts alias kacang-cina saja. Suaranya sudah serak dalam mengejar nada yang tinggi seringkali tidak sampai. Bahasanya tidak selalu halus dan kaya akan metaphora. Karakterisasi suara dari para tokoh yang ditampilkannya tidak selalu pas bahkan seringkali kacau suara siapa mewakili siapa. Sabetan wayangnya juga sedang-sedang saja. Itulah pak Kiat dalang desa yang beberapa waktu yang lalu sempat saya lihat dalam satu pesta sunatan di suatu desa kecil di kabupaten Klaten. Konon dalang ini termasuk dalang yang laris yang ditanggap orang dari desa ke desa. Apa yang membuat dalang ini menarik dan populer? Ciri-ciri kwalitas seperti tersebut di atas pastilah bukan merupakan daya tarik yang mempesona. Mungkin sekali pada kepolosannya, pada keunikan konsep cerita carangan yang dilemparkannya, pada kejituan wawasannya tentang keadaan yang aktuil, pada rasa humornya yang tajam. Di tengah suasana panca-roba dari desa-desa kita sekarang (hama wereng, korupsi bimas, kredit bank rakyat yang tidak terbayar kembali, pengganti bibit padi baru ke bibit padi baru yang lain), mungkin sekali cerita carangan a la Kiat itu mempunyai daya-tariknya sendiri. Di desa-desa itu mungkin rakyat yang menonton wayang pak Kiat mengenal kembali "batara guru-batara guru." "semar-semar" atau "ismoyo-ismoyo" mereka. Dan sekali begitu rakyat itu mungkin sekali juga membayangkan "wahyu-wahyu"-nya sendiri yang bakalan turun. Apakah ini gejala eskapisme? Gejala mencari hiburan untuk lari dari kenyataan pahit dari kehidupan sehari-hari seperti pada mereka yang pada melihat film komersial baik Indonesia atau asing? Mungkin. Mungkin juga tidak. Setidaknya menonton wayang di komunitas desa begitu masih ada unsur ritusnya. Yakni ritus peneguhan kembali solidaritas mereka menjadi warga satu komunitas. Bukan satu kebetulan -- saya kira -- bila pada jam 1 pagi itu, sesudah nasi gule selesai disantap, sesudah Semar dan Ismoyo selesai mendudukkan persoalan antara rakyat dan pemegang kekuasaan dan bisa ditarik kesimpulan bahwa hanya Arjuna yang bisa mendapatkan wahyu, tamu-tamu itu hampir serentak berdiri minta pamit pulang ke rumah masing-masing. Ritus solidaritas selesai, pesan ki dalang sudah tertangkap. Adakah roso begini pada penonton di gedung bioskop? * * * Mungkin sekali dalang-dalang desa seperti pak Kiat itu lehih penting buat masyarakat pedesaan Jawa ketimbang para dalang superstars dengan honor ratusan-ribu rupiah yang seringkali ditanggap demi untuk menjaga gengsi sosial para elite desa. Tanpa disadari -- karena dia seniman yang baik -- orang seperti dalang Kiat itu adalah justru "semar-semar" kecil yang berada di alam "sonya ruri"-nya sendiri yang harus kita cari untuk membimbing kita, memberi tahu kita tentang kearifan hidup. Dan orang seperti dia itu -- saya kira -- tidak membutuhkan tingkat virtuoso yang bagaimanapun juga. Format sosial dan ekonomi desa beserta khalayaknya, audience-nya, tidak membutuhkan virtuoso seperti itu. Kalau katharsis kecil-kecilan bisa dicapai di desa sono dengan sikap sederhana yang dibarengi dengan intuisi tajam, mau apa lagi sih . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus