Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

LBH dan Pusaka Sebut PSN Tebu di Merauke Rusak Wilayah Adat dan Picu Krisis Ekologi

LBH Papua dan Yayasan Pusaka mengkritik PSN kebun tebu yang seolah menjadi versi baru MIFEE, program pangan yang diduga merusak alam di Merauke.

1 Agustus 2024 | 09.22 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka) menilai proyek perkebunan tebu di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, bukan solusi untuk krisis pangan. Ketua LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum, menduga salah satu proyek strategis nasional (PSN) ini justru menggerus wilayah adat dan merusak ekosistem masyarakat asli Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami belum menemukan informasi, dokumen kajian sosial, dan kajian lingkungan hidup strategis pada proyek ini. Semestinya dilakukan sejak awal, sebelum dimulai," katanya, melalui keterangan tertulis, Selasa, 30 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Teddy, ini bukan pertama kalinya tanah Papua dicaplok oleh pemerintah. Pada 2010, area yang sama sempat terdampak program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) besutan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketika duka lama MIFEE belum selesai, kata dia, negara kembali menambah derita baru lewat PSN tebu yang bakal menggerus lebih dari ratusan ribu hektare lahan di Kabupaten Merauke dan sekitarnya. “Bukan kemakmuran bersama yang dirasakan, tetapi segudang persoalan baru.”

Proyek lumbung pangan negara ini dipayungi Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023. Ada juga Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2024 soal pembentukan Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, yang kemudian dipimpin oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.

Kini penolakan terhadap PSN perkebunan tebu terus bergaung dari sebagian masyarakat asli Merauke. Masyarakat memprotes hilangnya kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Proyek prioritas itu juga dianggap menghambat akses warga lokal ke sumber pangan.

"Masyarakat adat tereksklusi, (timbul) eksploitasi buruh, dan pemberian upah tidak layak,” ucap Teddy. Dia juga menyebutkan adanya deforestasi, malnutrisi, kerusakan ekosistem, hingga pencemaran air.”

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, mengatakan MIFEE saja sudah menggerus lahan seluas 1.588.651 hektare. Ada 38 perusahaan yang menggarap komoditi di lahan MIFEE, mulai dari kelapa sawit, tebu, jagung, dan tanaman industri lainnya.

"Penyimpanan dan dampak program MIFEE masih dikeluhkan masyarakat adat terdampak hingga saat ini,” ucap Franky,

Beberapa masyarakat asli yang masih menuntut keadilan adalah Suku Marind, serta buruh di Mam, Muting, dan Zanegi. Mereka juga meminta pemulihan hak korban kekerasan, janji perusahaan dan upah layak.

Laporan Premium Tempo berjudul Deforestasi Lumbung Pangan dan Lubang Tambang, yang terbit pada 28 Juli 2024, juga mengulas dampak lingkungan PSN kebun tebu tersebut. Dalam tulisan yang menjadi bagian dari Edisi Khusus Majalah Tempo ihwal 10 Tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjamin pemerintah sudah melakukan segala mitigasi, verifikasi, dan evaluasi untuk mencegah kerusakan lingkungan.

Namun dia tak memungkiri adanya eksternalitas negatif pada PSN. “Akibat proses penyiapan dan pembangunan proyek, termasuk potensi konflik lingkungan-sosial, juga dampak terhadap lingkungan,” kata Susiwijono kepada Tempo pada 22 Juli lalu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus