Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

Rekomendasi BRIN pada Kebijakan Pajak Karbon untuk Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca

Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.

20 Juni 2022 | 21.07 WIB

Ilustrasi pajak karbon. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi pajak karbon. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan dukungan terhadap rencana penerapan kebijakan Pajak Karbon dengan melakukan kajian dari perspektif ilmu pengetahuan hayati dan sosial ekonomi. Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Definisi Pajak Karbon ini diambil dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), khususnya pada Pasal 13 Ayat (1) dan akan berlaku 1 Juli 2022. Tujuan utama pengenaan Pajak Karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Organisasi Hayati dan Lingkungan, Iman Hidayat, mengatakan penerapan UU HPP menjadi kunci untuk mewujudkan ruang hidup yang berkualitas bagi manusia. "Ruang hidup yang berkualitas ini tidak hanya untuk manusia di Indonesia, namun manusia secara global, mengingat Indonesia memiliki posisi penting dalam pasar karbon dunia," kata Iman secara daring, Senin, 20 Juni 2022.

Penerapan UU HPP ini, menurut Iman, makin memperkuat komitmen Indonesia dalam mewujudkan target nasional dalam mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen secara mandiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030, sebagaimana tertuang dalam Paris Agreement.

Bahkan Indonesia juga menargetkan Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih awal. “Kebijakan ini akan memberikan dampak pada perilaku pihak industri dan masyarakat untuk menghasilkan dan mengkonsumsi produk dengan emisi gas rumah kaca yang rendah,” tuturnya.

Pengenaan Pajak Karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.

Perhitungan Pajak Karbon Berdasarkan UU HPP, subyek Pajak Karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Menurut Kepala Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup, Nugroho Adi Sasongko, pajak karbon termasuk paling rendah di dunia, hanya 2,13 USD/tCO2eq. “Sedangkan estimasi World Bank berkisar antara 30-100 USD/tCO2eq,” kata Nugroho sambil memperlihatkan tabel harga dari berbagai negara di dunia menurut Bank Dunia tahun 2021.

Selain itu dibutuhkan banyak regulasi turunan yang mendukung implementasi. Juga diperlukan petunjuk teknis verifikasi, validasi dan standar kompetensi pelaksananya dan sertifikasi penurunan emisi.

Nugroho memberikan 11 rekomendasi dari pusat risetnya untuk kebijakan pajak karbon ini.

  1. Menurut PP No 98 Tahun 2021, khusus untuk pembangkit objek pajaknya ada dua objek pajak, yaitu batu bara (barang yang mengandung karbon) dan emisi sebagai aktivitas yang menghasilkan karbon. Pengenaan pajak berdasarkan dua hal ini akan menambah beban biaya pokok produksi di pembangkit, karena potensial terjadi dua jenis pajak.
  2. Penetapan CAP tidak hanya diklasifikasikan berdasarkan kapasitas pembangkit melainkan perlu di-break down berdasarkan jenis teknologi di tiap kapasitas.
  3. Pelaksanaan dilakukan secara bertahap, misal tahap pertama dilaksanakan untuk PLTU skala besar dan kemudian jika mekanisme sudah settled bisa dilanjutkan dengan PLTU skala kecil 25-100 MW. Hal ini selaras dengan Permen LHK tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik.
  4. PLTU di bawah 25 MW mungkin dapat dikecualikan dari kewajiban pajak karbon (dari sisi kontribusi emisi sangat kecil dibandingkan PLTU skala besar), hal ini juga selaras dengan Permen LHK tentang Baku Mutu Emisi (BME) pembangkit listrik.
  5. Metodologi Perhitungan Pajak Karbon sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan terkini dari Metodologi IPCC
  6. Harmonisasi dalam Kebijakan dan Peraturan Teknis misalnya dalam penggunaan istilah dan mekanisme yang belum seragam tentang penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Pembangkit.
  7. Pengimbangan emisi yang sudah di-offset melalui perdagangan karbon seharusnya sudah tidak terkena obyek pajak karbon, pajak karbon dibayarkan untuk sisa kelebihan emisi yang belum terkurangi.
  8. Kontribusi Co-firing Biomassa perlu dimasukkan dalam metodologi perhitungan, mengingat Biomassa adalah dikategorikan sebagai Carbon Neutral
  9. Perhitungan Pajak Karbon juga memperhatikan Mekanisme Supply Chain Domestic Market Obligation (DMO) yang ada di Indonesia, mengingat Unit Pembangkit di Indonesia sendiri sering kali terkendala tidak bisa mengontrol kualitas batubara yang menjadi Fuel, sehingga sering dilakukan Adjustment dalam Coal Mix dan Coal Upgrading
  10. Sosialisasi dan edukasi pajak karbon dengan baik ke masyarakat dan pelaku usaha.
  11. Keterlibatan BRIN dalam menyumbangkan masukan ilmiah (scientific based policies) dan terlibat Sustainability Assessment seperti asesor atau verifikator nanti nya.

Baca:
Kebanyakan Teknologi Tangkap Karbon Malah Tambah Emisi ke Udara

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus