Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Guru Besar Giliran ke Mahasiswa

Gerakan kampus oleh guru besar dan civitas academica makin masif. Aksi demonstrasi mahasiswa bermunculan. 

9 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi unjuk rasa mahasiswa di depan Istana Negara, Jakarta, 7 Februari 2024. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Gerakan kampus yang bermula dari pernyataan sikap para guru besar dan dosen kini mulai diikuti para mahasiswa.

  • Agenda gerakan aksi para mahasiswa masih sporadis.

  • Gerakan moral kampus tidak hanya di Tanah Air.

JAKARTA – Gerakan kampus yang bermula dari pernyataan sikap para guru besar dan dosen kini mulai diikuti para mahasiswa. Sejumlah mahasiswa memulai gerakan dengan berorasi dan menggelar aksi unjuk rasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Gielbran Muhammad Noor mengatakan aksi unjuk rasa mahasiswa di sejumlah kampus muncul secara spontan. Beberapa mahasiswa mulai menggelar unjuk rasa, misalnya aksi para mahasiswa dalam Jakarta long march atau berjalan dari Tugu Reformasi Universitas Trisakti hingga kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Mereka menuntut pemakzulan Presiden Joko Widodo dan menolak pemilu curang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aksi unjuk rasa mahasiswa yang berusaha mendekati pagar Istana Negara di Jakarta, 7 Februari 2024. TEMPO/Subekti.

Aliansi BEM Seluruh Indonesia menggelar unjuk rasa di Patung Kuda kawasan Monas, Jakarta Pusat, pada Kamis, 8 Februari 2024. Mereka berunjuk rasa sambil membentangkan spanduk mengkritik Presiden Jokowi dan mimbar bebas bertajuk "Kembalikan Marwah Demokrasi".

Di Yogyakarta, aksi unjuk rasa mahasiswa berlangsung di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta, kemarin. Aliansi Solidaritas Perlawanan Rakyat Solo Raya (Sodara) turun ke jalan dalam aksi unjuk rasa di Kota Solo, Jawa Tengah. “Agenda gerakan ini cukup sporadis,” ujar Gielbran saat dihubungi Tempo, Kamis kemarin.

Gerakan moral kampus berawal dari Petisi Bulaksumur oleh civitas academica UGM pada 31 Januari 2024. Mereka mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi dan mendeklarasikan sikap agar Presiden bersikap netral dalam Pemilihan Umum 2024. Sehari kemudian, sejumlah universitas juga menggelar deklarasi keprihatinan rusaknya demokrasi pada era Jokowi. Gelombang gerakan dari guru besar dan dosen bertambah banyak dari kampus-kampus di Tanah Air. Hingga Kamis kemarin, sudah ada 50 lebih perguruan tinggi negeri dan swasta yang mendeklarasikan sikap.

Gielbran menuturkan UGM bersama kampus lain di Yogyakarta sedang berkonsolidasi untuk menggelar aksi Gejayan Memanggil. Narasi yang diusung para mahasiswa tetap berfokus pada keresahan penurunan nilai demokrasi dan pelanggaran konstitusi. Pelanggaran itu dari putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai menabrak etik, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang memberikan sanksi kepada komisioner dan Komisi Pemilihan Umum, hingga dugaan kecurangan pemilu dan mobilisasi aparat untuk memenangkan salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya.

Gielbran menepis tudingan aksi mahasiswa turun ke jalan disetir oleh kalangan tertentu, baik oleh guru besar maupun kelompok partisan. Gerakan mahasiswa ini murni dari mahasiswa dengan mengajak semua elemen, seperti masyarakat sipil, akademikus, dan masyarakat yang resah akan kondisi demokrasi saat ini.

Mahasiswa Jurusan Ilmu dan Industri Peternakan UGM ini menyayangkan upaya penggembosan terhadap gerakan guru besar di kampus, termasuk narasi tandingan terhadap gerakan ini. Menurut dia, apa yang disampaikan oleh para guru besar merupakan keresahan terhadap pemilu yang sarat kecurangan. Dalam sepekan terakhir, sejumlah pejabat kampus, seperti rektor dan wakil rektor, mengaku didatangi aparat. Mereka diminta membuat video bahwa Presiden Jokowi berjasa dan berkinerja baik selama memimpin.

Gielbran menegaskan, sudah menjadi tugas universitas untuk menjadi pressure group atau kelompok penekan bagi rezim pemerintah. “Tugas kami mengatakan kebenaran bagi zalimnya kekuasaan,” tuturnya.

Dihubungi secara terpisah, Ketua BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) Mohamad Haikal Febriansyah mengatakan mahasiswa Unpad siap turun kapan pun karena konsolidasi mereka sudah rampung. Unpad akan bergabung dalam BEM Seluruh Indonesia Kerakyatan dalam aksi di depan kantor KPU, Jakarta Pusat, yang direncanakan pada Jumat ini. "Dari Unpad tinggal aktivasi. Konsolidasi internal sudah dilakukan. Keresahannya sudah sama,” kata Haikal saat dihubungi Tempo, kemarin.

Menurut dia, aksi di KPU belum bisa disebut aksi besar. Mereka ingin memantik untuk aksi selanjutnya. Haikal juga belum memastikan jumlah mahasiswa dan kampus yang akan bergabung dalam aksi karena masih didata. Aksi unjuk rasa ini murni sikap para mahasiswa. “Mahasiswa yang meminta, dan guru besar meresponsnya dengan positif. Memang bentuk dan metode aksi guru besar berbeda dengan mahasiswa,” tuturnya.

Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad, Arief Anshory Yusuf, mengatakan tidak ada komunikasi antara guru besar dan mahasiswa perihal aksi unjuk rasa yang bakal digelar mahasiswa. Menurut dia, sikap guru besar mengapresiasi inisiatif mahasiswa. “Para guru besar memberikan seruan akal sehat, moral, dan hati nurani. Mahasiswa punya sikap independen, nalar, dan hati nurani sendiri. Tidak perlu dan tidak ada yang nyetir,” kata Arief.

Setiap Aksi Berjalan Sendiri-sendiri

Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Rimawan Pradiptyo, menyatakan tidak setuju apabila guru besar atau pengajar terlibat langsung dengan aksi mahasiswa. Sebab, ujar dia, gerakan pada masa tenang berisiko dan memungkinkan aparat bertindak. Ia mengatakan belum ada diskusi antara guru besar UGM dan mahasiswa ihwal aksi tersebut.  “Agar tidak dituduh memobilisasi mahasiswa, aksi kami berjalan sendiri-sendiri,” ujar Rimawan. “Agar apabila salah satu dari kami dilemahkan oleh rezim, masih ada kelompok lain yang bergerak.”

Rimawan mempersilakan para mahasiswanya menggelar aksi unjuk rasa dengan damai dan tetap mengikuti aturan pada masa tenang kampanye pemilu. “Pasca-pemilu, kalau ingin aksi demo, monggo (silakan),” ujarnya.

Mahasiswa saat aksi demonstrasi dengan tema "Amanah Konstitusi & Reformasi Dibajak Jokowi" di Bandung, Jawa Barat, 7 Februari 2024. TEMPO/Prima Mulia

Dari Medan, guru besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Ningrum Natasya Sirait, mengatakan gerakan para guru besar, pengajar, dan mahasiswa harus dilihat secara menyeluruh. Menurut dia, hal yang dilakukan civitas academica dalam sepekan terakhir menunjukkan ada yang salah dengan kondisi politik dan demokrasi saat ini. “Kenapa kami dianggap sangat menakutkan sehingga semua orang bereaksi?” ujar profesor yang turut menyatakan deklarasi USU pada 5 Januari lalu ini.

Ia heran atas tudingan yang menyebutkan gerakan moral guru besar di tiap-tiap kampus dipandang sebagai gerakan partisan atau adanya upaya membungkam. Dia menegaskan, perguruan tinggi sudah mati jika tidak bersuara untuk mengingatkan adanya penurunan nilai demokrasi saat ini. “Kalau kami diam, justru kami mati. Tapi, kalau kami bersuara, itu menandakan kampus masih hidup.”

Gerakan moral kampus tidak hanya dilakukan di Tanah Air. Forum Komunikasi Mahasiswa Australian National University ikut menyuarakan kritik terhadap Presiden Jokowi. Mereka mendeklarasikan sikap berjudul "Maklumat Canberra". Maklumat ini disampaikan oleh Anita Wahid, mahasiswi program doktoral di Australian National University. "Menjelang hari Pemilu 2024, masyarakat menyaksikan elite mempertontonkan keberpihakan politik tanpa merasa malu dan tersandera sebagai kepanjangan tangan agenda politik elektoral," kata Anita melalui tayangan daring pada Kamis kemarin.

Anita mengatakan etik pejabat dan penyelenggara negara menjadi barang langka dari tingkat pimpinan tertinggi di pusat sampai tingkat terbawah di daerah. Mandat penyelenggara negara untuk melayani yang papa serta terpinggirkan, ucap dia, menjadi cacat dengan membuat kelompok yang seharusnya prioritas dalam pembangunan menjadi sebatas deret ukur belaka dalam preferensi survei pemilu.

EKA YUDHA SAPUTRA | YUNI ROHMAWATI | BAGUS PRIBADI | SEPTIA RYANTHIE
Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus