Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Alimat Jakarta, Maria Ulfah Anshor menyebutkan munculnya penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS kental politisasi agama dengan mengambil momentum pemilihan umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Politisi yang menolak semangatnya meraih suara konstituennya. Bukan berpikir soal baik dan buruk dalam berpolitik,” kata Maria Ulfah dalam diskusi publik bertema RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Meneguhkan Nilai Keislaman dan Kemanusiaan dalam Penghapusan Kekerasan Seksual di kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis, 28 Februari 2019.
Sebelumnya, penolakan RUU PKS itu muncul dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai politik tersebut menilai ada potensi pertentangan materi atau muatan RUU dengan Pancasila dan agama. PKS bahkan menganggap RUU ini berpotensi membuka ruang sikap permisif terhadap seks bebas dan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Penolakan juga dilakukan dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Maimon Herawati dengan membuat petisi menolak RUU PKS tersebut.
Maria Ulfa menilai penolakan melalui petisi itu cermin tidak tabbayun atau mencari kejelasan. Dampaknya adalah penolakan yang membabi buta. Situasi politik yang memanas kemudian mendukung kalangan yang menolak untuk meraih suara menjelang Pemilu 2019. Kalangan konservatif, kata dia memanfaatkan momentum ini. “Mereka mengabaikan politik yang beretika demi meraih kekuasaan,” kata dia.
Maria Ulfa menyebutkan penolak RUU PKS itu kemungkinan tidak membaca teks secara utuh. Dampaknya adalah penafsiran secara personal. Padahal tafsiran-tafsiran ihwal RUU ini memberi ruang LGBT, dan RUU tidak sesuai agama dan Pancasila, tidak tertulis dalam RUU tersebut. Para penolak tersebut seharusnya bisa menunjukkan pasal dan ayat mana yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Padahal, kata Maria, RUU PKS tersebut justru sangat penting sebagai payung hukum untuk melindungi perempuan dan korban kekerasan seksual. Nilai-nilai penting dalam Islam adalah menghargai kesetaraan. Bila tidak terjadi relasi yang setara, maka terjadi kekerasan. Islam setuju bagaimana memperkuat empati terhadap korban kekerasan seksual. Menurut Maria, dua organisasi Islam terbesar Indonesia, NU dan Muhammadiyah bahkan menunjukkan tanda-tanda setuju dengan RUU itu. “Tidak ada keberatan soal substansi,” kata dia.
Maria optimistis RUU PKS akan disahkan pada tahun ini setelah pemilu berakhir. Ketua Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan memberi tanda bahwa RUU tersebut akan disahkan setelah pemilu.
Tokoh Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak, M. Ikhsanuddin pada tempat yang sama mendukung pengesahan RUU PKS karena sesuai dengan nilai-nilai Islam, yakni melindungi perempuan dan korban kekerasan. Dia menilai kalangan yang menolak memanfaatkan politisasi agama. Situasi tersebut muncul karena kalangan ekstrem menginginkan Islam seperti di Timur Tengah atau upaya Arabisasi.
Dalam forum yang sama, dosen Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono mengatakan pelibatan tokoh dan institusi agama penting dalam pembahasan RUU PKS. Pendekatan agama diperlukan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang agamis. “Kesalehan dalam agama bicara soal kemanusiaan, kesetaraan dan tidak merugikan orang lain,” kata dia.