Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Mahasiswa dari Departemen Politik Pemerintahan Fisipol UGM Yogyakarta meminta maaf kepada masyarakat Indonesia di sela menggelar aksi di halaman kampus mereka pada Senin, 12 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permintaan maaf itu disampaikan mahasiswa untuk mewakili dua rekan di almamaternya yakni Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Koordinator Staf Khusus Presiden RI Ari Dwipayana yang turut menjadi bagian kekuasaan di bawah Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua akademisi UGM yang kini mewakili Istana Kepresidenan itu dianggap ikut mengantarkan kemerosotan demokrasi Indonesia lewat berbagai perilaku politik yang sangat jauh dari etika intelektual.
"(Kemerosotan demokrasi) ini bukan kesalahan Pak Tik (panggilan Pratikno sebagai dosen) dan Mas Ari (panggilan Ari Dwipayana) semata," kata perwakilan mahasiswa Fisipol UGM Rubiansyah.
"Namun kami menyadari, dua guru kami itu telah menjadi bagian dari persoalan bangsa. Untuk itu, ijinkan kami mewakili Pak Tik dan Mas Ari menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia," ujar Rubiansyah.
"Sebagai pembelajar ilmu politik sekaligus murid-muridnya Pak Tik (panggilan Pratikno sebagai dosen) dan Mas Ari (panggilan Ari Dwipayana), kami menyadari segala permasalahan terkait kemerosotan demokrasi adalah permasalahan sistemik yang disebabkan banyak aktor," kata perwakilan mahasiswa Fisipol UGM Rubiansyah.
Saat ditanya mengapa bersedia mewakili Pratikno dan Ari Dwipayana meminta maaf kepada rakyat Indonesia, Rubiansyah menuturkan agar kedua dosennya tersebut segera sadar dan malu, atas langkah yang dilakukan bersama kekuasaan saat ini.
"(Permintaan maaf) itu karena kami merasa malu, semoga keduanya juga sadar dan malu," ujar dia.
Para mahasiswa itu kecewa, di tengah perhelatan Pemilu 2024, justru menyaksikan demokrasi sedang menuju ambang kematian.
Menurutnya, di bawah Jokowi, rakyat disuguhi serangkaian tindakan pengangkangan etik dan penghancuran pagar-pagar demokrasi yang dilakukan oleh kekuasaan. Para penguasa dengan tidak malu menunjukkan praktik-praktik korup demi langgengnya kekuasaan.
"Konstitusi dibajak untuk melegalkan kepentingan pribadi dan golongannya. Melihat ini semua, rasanya demokrasi Indonesia bukan hanya sekedar mundur ataupun cacat, tetapi sedang sekarat," kata dia.
"Kita melihat bersama, bahwa kekuasaan telah merusak pagar yang menjaga agar demokrasi tetap hidup dan terus dapat dirayakan. Jika pada akhirnya demokrasi kita, demokrasi milik rakyat Indonesia ini, mati, maka sejarah akan mengingat siapa saja pembunuhnya," imbuh dia.
Untuk itu, kata Rubiansyah, menjadi keharusan bagi seluruh pihak untuk menyadarkan kekuasaan atas perbuatannya.