Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENDUDUK Aceh marah lagi. Soalnya, masih ada pembangunan sarana umum di wilayah itu, yang dianggap tak memperhatikan aspirasi penduduk. Itu, paling tidak, dialami tempat rekreasi di Air Terjun Blang Kolam, Kuta Makmur, Aceh Utara, 20 Mei lalu. Sabtu pagi itu, tempat rekreasi yang terletak 22 kilometer dari Lhokseumawe dan tak jauh dari sebuah pesantren itu hangus dibakar orang. Padahal, baru didandani dengan biaya Rp 20 juta. Pasalnya, di sana sering terlihat pasangan-pasangan berasyik-masyuk di gubuk-gubuk. Tapi, menurut Kapolres Aceh Utara Letkol. Soetardjo, belum ada seorang pun yang ditahan. Sebelum pembakaran itu, 10 Maret lalu pecah kerusuhan di lapangan Hirak, Lhokseumawe. Malam itu Oriental Circus Indonesia milik Pusat Koperasi TNI-AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, dilempari batu dan pagarnya dijebol massa. Tiga mobil rusak, satu di antaranya terbakar dan dua lagi terguling. Kejadian itu, kabarnya, lantaran penduduk kurang berkenan terhadap cara pengusaha sirkus memanggil pengunjung, tepat pada saat azan berkumandang dari Masjid Baiturrahman, 100 meter dari arena sirkus. Selain itu, pakaian pemain wanita -- lazimnya mengenakan pakaian minim -- menyinggung perasaan keagamaan penduduk. Maka, tak bisa lain bagi Kapolres Aceh Utara selain mencabut izin pertunjukan. Tak sampai di situ. Dua puluh hari kemudian kawasan Aceh Utara kembali menghangat. Sejumlah petugas bersenjata lengkap memblokir jalan-jalan di Lhokseumawe, begitu mereka mendengar informasi bahwa para pelajar akan berdemonstrasi ke kantor Catatan Sipil, gara-gara tersiarnya selebaran gelap yang menyatakan kantor tersebut berusaha "mengkristenkan" masyarakat Aceh Utara. Maka, Kapolres Aceh Utara segera minta agar semua sekolah SMTP dan SMTA ditutup dan dijaga ketat. Semua bis yang mengangkut para pelajar disetop, penumpangnya diminta turun. Meski begitu, toh masih ada mubalig yang bersuara keras, seperti Tengku Abdur Rahman Budiman B.T.M., 27 tahun, asal Teupin Batee, Lhoknibong, Simpang Ulim Aceh Timur. Bulan lalu berkali-kali Abdur Rahman, yang suka bermain bola kaki, khotbah di beberapa tempat. Massa yang hadir tak kurang dari 10 ribu orang. Tapi ketika berbicara di Desa Bungkah Muara Batu, Aceh Utara, santri yang pernah mengaji di pesantren Tengku Abdul Addid di Samalanga, Aceh Utara, itu mengritik habis pemerintah. Akibatnya, usai ceramah, malam itu massa tumpah di jalan raya. Sebuah sedan yang ditumpangi sepasang suami-istri keturunan Cina digulingkan. Bahkan rombongan Kapolres Aceh Tengah, Letkol. Darwan Siregar, terpaksa berhenti menghadapi massa yang memadati jalan raya. Mobil patroli jalan raya yang terdepan dihujani batu. Abdur Rahman sendiri baru ditangkap 7 April lalu dan diterbangkan ke Medan. Sebulan kemudian ia dikembalikan ke Lhokseumawe, dalam tahanan kejaksaan setempat. Adakah kaitannya dalam beberapa peristiwa itu? "Saya tak melihat bukti-buktinya," ujar Maramis Purba, Kasi Tindak Pidana Khusus Kejari Lhokseumawe. Tuduhan sebagai tindak subversi juga dikesampingkan. Bahkan Bupati Aceh Utara, Ramli Ridwan, melihat gejolak itu sebagai akibat kecemburuan sosial. Di kawasan itu memang tumbuh subur beberapa industri besar, hingga masyarakatnya pun jadi lebih heterogen, sementara pengaruh budaya lain menimbulkan pergeseran nilai. Agaknya inilah penyebab utama yang lebih masuk akal. Dan bukan semata-mata lantaran "fanatisme" agama. Tapi Ramli Ridwan sendiri tak mengesampingkan faktor perasaan keagamaan, meski yang dipersoalkan penduduk pada umumnya "soal-soal kecil". Padahal, di lain pihak, kata Bupati Aceh Utara, orang Aceh juga banyak yang kurang taat beribadat.Laporan Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo