Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANDELAN Amaruddin sudah 9 tahun menjadi pembantu TEMPO sebagai wartawan -- di Jawa Tengah. "Aneh tapi nyata", bahwa ia belum pernah melongok kantor pusat TEMPO di Jakarta. Sebaliknya, wartawan di Jakarta juga belum tahu bentuk sebenarnya yang bernama Bandelan. Kami cuma mengenal bau laporan dan suaranya lewat telepon. Dan tak cuma Bandelan. Keadaan "aneh tapi nyata" ini dialami oleh sebagian wartawan kami di luar Jakarta. Mereka mengenal TEMPO hanya lewat majalah dan lewat telepon. Irwan E. Siregar dari Medan, misalnya, yang sudah beberapa bulan bekerja sebagai wartawan TEMPO? hanya bisa menduga-duga wajah Pemimpin Redaksinya Agar mereka tak cuma menduga-duga -- dan mimpi barangkali -- seperti apa dapur TEMPO, setiap tahun kami mengadakan acara "orientasi wartawan daerah" ke Jakarta. Secara bergiliran, mereka -- yang menurut kriteria kami -- telah menjadi pembantu tetap yunior, atau kira-kira sudah lebih dari setahun bekerja dan punya prestasi tertentu di kantor biro daerah, dipersilakan menjadi turis domestik di markas pusat. Mereka diberi visa untuk dua minggu. Tapi agar tak hanya tengok kanan dan kiri, mereka juga diberi penugasan. Maka, para "turis" itu pun diperkenalkan bagaimana wartawan di Jakarta harus memburu berita, di tengah kesemrawutan Ibu Kota. Di samping itu, tentu saja peserta orientasi harus bekerja sama dengan wartawan di kantor pusat. Yang terakhir ini dimaksudkan agar mereka lebih mengenal sesama rekan di Jakarta. Yang tersebut belakang ini tak mudah. Ada kecenderungan yang di pusat punya hobi memplonco para "turis" itu. Dua pekan terakhir ini kami mengundang empat wartawan daerah. Dua nama sudah kami sebut -- Bandelan dari Yogyakarta (Biro DIY & Jawa Tengah), dan Irwan dari Medan. Dua biro lainnya diwakili oleh Ida Farida (Bandung) dan Zed Abidien (Surabaya). Ada senangnya, juga susahnya, tentu. Bagi Bandelan, Irwan, dan Zed Abidien, harus berpisah dengan keluarga tak begitu berat. Dua yang pertama cukup menyerahkan rumah dan anak-anak kepada istri masing-masing. Sedangkan Abidien tak perlu menyerahkan anaknya kepada siapa pun, karena memang belum berkeluarga. Adapun Ida, lulusan Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, terpaksa memboyong dua anaknya yang masih balita ke Jakarta dan menitipkannya di rumah neneknya. Agar, katanya, setelah pulang mengejar berita dia bisa ketemu anak-anak, seperti di rumah mereka di Bandung. Tugas dan anak, bagi Ida, tak harus dipilih salah satu. Pada waktu pertama kali mengandung, misalnya, Ida toh berangkat meliput tim Jayagiri yang mendaki tebing gunung es Eiger di Swiss. Itu bukan cuma demi tugas, tapi juga demi suami. Herry Suliztiarto, suaminya, waktu itu ketua tim pendaki Eiger. Dua-duanya diselesaikan Ida dengan baik. Juga kali ini, tugas mengenali dapur TEMPO dan mengasuh anak diselesaikan dengan tanpa masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo