Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan pasar malam

Upacara peringatan hari lahirnya nabi muhammad s.a.w. di yogya yang disebut sekatenan. tahun ini perayaan tersebut sempat dihadiri oleh majelis ulama dan ketuanya buya hamka. (ag)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI lahir Nabi Muhammad dianggap penting oleh sebagian orang Jawa. Setidaknya generasi tuanya. Terutama di Sala, Yogya dan Cirebon -- 3 daerah bekas pusat kerajaan Islam di Jawa. Jatuh tanggal 12 Rabi'ulawal, maulud Nabi yang bagi lidah Jawa disebut muludan itu diperingati secara istimewa. Menurut cerita, peringatan itu merupakan salah satu kesempatan bagi para ulama penyebar agama Islam di abad 17 dulu -- yang dikenal dengan para Wali -- untuk berda'wah, mengajak rakyat memeluk Islam. Dengan pandai para Wali memanfaatkan kesenian Jawa sebagai daya tarik. Bahkan kekuasaan para raja pun dimanfaatkan. Sebuah mesjid besar selalu sendiri tak jauh dari istana. Di sanalah peringatan dipusatkan, dengan puncak para pembacaan riwayat Nabi. Agar rakyat datang berbondong mendengarnya, dua perangkat gamelan dibunyikan halaman mesjid. Apalagi, biasanya sang raja hadir dalam pembacaan riwayat Nabi tersebut. Dulu, begitu ceritanya, rakyat yang bersedia masuk Islam lantas diajari mengucap 2 kalimah syahadat, alias syahadatein. Bagi lidah Jawa, syahadatein lantas menjadi sekaten. Maka perayaan muludan pun lantas disebut pula sekaten atau sekatenan. Menurut perhitungan kalender Jawa, hari lahir Nabi jatuh persis di tahun Dal. Bila suatu kali sekaten jatuh di tahun Dal, perayaan pun diselenggarakan besar-besaran. Mengapa Karena hal itu berarti tumbuk sewindu atau jatuh persis dalam siklus 8 tahun sekali (kalender Jawa mengenal 8 jenis tahun: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jima kir). Tahun ini, sekaten juga jatuh di tahun Dal (lihat Ilustrasi), sampai-sampai menarik perhatian Mejelis Ulama. Bid'ah Bahkan Hamka, ketuanya, merasa perlu menyaksikannya. "Saya bertanya kepada Sri Sultan, sekaten itu benar berasal dari kata syahadatein atau sekati seperti banyak diceritakan orang?" ujar Hamka yang Sabtu pekan lalu berulangtahun ke-71. Menurut Sri Sultan -- begitu certa Hamka -- memang berasal dari kata syahadatein. Dari Jakarta, llamka juga mennbawa naskah riwayat Nabi yang ditulis dalam bahasa Jawa untuk dibacakan di Mesjid Agung Yogya. Akhirnya Hamka pun berkesimpulan: sekaten -tak lagi diragukan -- adalah perayaan Islam. Menganggap sekaten sebagai da'wah, Hamka bahkan menilainya sebagai "syi'ar Islam" alias semaraknya agama. Bahwa di dalamnya ada hal-hal kecil yang di mata orang Islam bisa disebut bid'ah atau khurafat, "itu perkembangan jaman, yang hendaknya kita salurkan." Sikap Hamka hahkan "tidak apriori." Bid'ah, adalah perbuatan keagamaan yang menyimpang, sedang khurafat bisa digolongkan semacam tahyul. Kepada wartawan TEMPO di Yogya, K.H. Hasan Basri -- salah seorang ketua Majelis Ulama yang menyertai Hamka -- menambah, "hal itu dapat dihilangkan dengan lebih meningkatkan pendidikan masyarakat." Hasan Basri sendiri menyebut sekaten sebagai "pasar malam." Meski begitu, toh muncul protes dari umat Islam Yogya karena di sana juga ada semacam perjudian. Bahkan juga da'wah Kristen lewat pertunjukan sirkus (TEMPO, 3 Pebruari, Hiburan). Ada kesan, mereka tak mau menganggap sekaten cuma sekedar "pasar malam" melainkan peringatan maulid Nabi yang bersifat da'wah. Tapi nyatanya, sejak jaman penjajahan pun sekaten memang merupakan pasar malam. Dan sejak dulu kalangan Kristen sudah pula berusaha tampil di dalamnya. Seperti reportase Hamka seniiri dalam cerita pendeknya "Malam Sekaten" yang dimuat dalam kumpulan cerpen "Di dalam Lembah Kehidupan" Riuh-rendah di malan Sekaten, sorak-sorai orang menjajakan barang dagangannya, mendengung-dengung bagai bunyi sekawanan lebah berpindah sarang. Tukang-tukang obat menyeru-nyerukan minyaknya yang mujarab. Pada suatu penjuru kelihatan orang sedang memuji-mujikan semacam bir. Di penjuru lain tampak seorang haji menyerukan kemuliaan Islam. Di tempat lain ada pula seorang serdadu Bala Keselamatan menyeru-nyeru orang supaya diperhatikan Kitab Injil. Dan di pekarangan mesjid Agung kedengaran bunyi gung bertalu-talu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus