Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buku Pelajaran Orang Pacitan

Buku-buku keluarga Istana disebar di sekolah-sekolah. Dibiayai anggaran negara, isinya dianggap tak cocok buat pelajar sekolah menengah.

7 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN murid Sekolah Menengah Pertama Islam Al-Mi’rad Talang, Tegal, Jawa Tengah, meriung di perpustakaan. Guru meminta mereka membaca buku bantuan pemerintah yang belum lama diterima sekolah. Seorang siswa kelas tiga, Anam Saputra, membaca buku Menata Kehidupan Bangsa, lalu mengeluh, ”Isinya sulit dipahami.”

Buku yang dibaca Anam, berisi tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, merupakan bagian dari seri buku Lebih Dekat dengan SBY. Menerima buku dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tegal pada pertengahan Januari, Kepala Sekolah Abdullah Mufid menggelar diskusi buat menguji pemahaman anak didiknya. Siswa sekelas Anam, Eni Safitri, juga merasa sulit memahami isi buku terbitan Remaja Rosdakarya, Bandung, itu. ”Mending saya mengerjakan soal daripada mempelajari buku ini,” ujarnya.

Abdullah Mufid menilai isi buku-buku tentang Presiden itu tidak cocok dengan mata pelajaran. Koleganya, Abdul Azis, Kepala SMP Ma’arif Nahdlatul Ulama Dukuhwaru, Tegal, awalnya menduga buku seri Presiden itu bisa memperkaya pelajaran kewarganegaraan. ”Ternyata isinya biografi tokoh yang tak nyambung dengan mata pelajaran mana pun,” ujarnya.

Peredaran buku Yudhoyono melalui paket bantuan pemerintah itu diketahui Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal pada bulan lalu. Dari 87 sekolah penerima bantuan buku, sebagian besar menerima seri buku SBY. Paket buku itu dibeli dengan Dana Alokasi Khusus Kementerian Pendidikan Nasional. Selain sepuluh buku berseri, ada buku biografi Yudhoyono, Bintang Lembah Tidar, dan Surat untuk Ibu Negara—yang menurut pengantarnya merupakan cerita ”fiktif informatif” Ani Yudhoyono.

Muhammad Dimyati, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal, meminta buku-buku itu ditarik dari sekolah karena tak sesuai dengan kurikulum. ”Semua tokoh boleh menyumbangkan buku biografi ke sekolah, tapi dengan biaya sendiri, jangan membebani negara,” ujarnya.

Waudin, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Tegal, mengatakan judul-judul buku bantuan sudah ditentukan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional. ”Semua sudah diatur Kementerian,” ujarnya.

Selain di Tegal, buku SBY disebar di Tangerang, Banten, serta Cirebon dan Garut di Jawa Barat. Ade Manadin, Kepala Sekolah Dasar Negeri Tegal Gede 2, Pakenjeng, Garut, mengatakan sekolahnya menerima 45 eksemplar buku seri SBY pada akhir bulan lalu. Ia ragu menaruh buku itu di perpustakaan sekolah. ”Gaya bahasanya terlalu tinggi dan politis,” ujarnya. ”Guru saja mungkin sulit memahaminya.”

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal menjelaskan buku serial tentang Presiden Yudhoyono merupakan bagian dari proyek pengadaan buku perpustakaan sekolah. Seri SBY tak berhubungan langsung dengan mata pelajaran karena termasuk ”buku pengayaan” tentang pengembangan kepribadian.

Pengadaan buku pengayaan termasuk program Dana Alokasi Khusus 2010. Sekitar Rp 2,5 triliun dialokasikan buat pengadaan buku perpustakaan untuk sekolah negeri dan swasta di daerah miskin di 521 kabupaten dan kota. Setiap sekolah kebagian paket buku senilai Rp 34 juta.

Seleksi buku pengayaan dimulai sekitar tiga tahun lalu oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional. Penerbit mengajukan buku ke Pusat Perbukuan, yang melakukan seleksi awal. Hasilnya diseleksi kembali oleh Panitia Penilai Buku Non-Teks Pelajaran. Panitia Penilai tak boleh mengajukan buku di luar usulan Pusat Perbukuan.

Pusat Perbukuan menunjuk lima orang buat menjadi tim penilai: Bana G. Kartasasmita, Yus Rusyana, dan Dasim Budimansyah dari Universitas Pendidikan Indonesia, serta peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mien Rivai, dan Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 5, Jakarta, Sugiarto. Sejumlah akademisi dari berbagai kampus lain juga diminta Pusat Perbukuan buat membantu seleksi.

Buku-buku yang kemudian disebar ke berbagai sekolah di Tegal diseleksi di Hotel Safari Garden, Puncak, Jawa Barat, pada 2009. Sekitar 200 orang berkumpul di ruang pertemuan, menyeleksi ratusan buku. Skor satu hingga tiga bintang dipakai buat menilai sisi teknis, bahasa, pengajaran, dan kesesuaian dengan usia pembaca. Bintang tiga atau 140 poin merupakan skor tertinggi.

Seorang anggota tim menyebutkan penilaian bintang itu tak mutlak. ”Ada juga yang lolos seleksi tanpa bintang,” ujarnya. Beberapa anggota panitia penilai mengatakan tak tahu judul buku, pengarang, dan penerbitnya ketika seleksi. Sebab, halaman yang memuat informasi tentang itu disobek agar penilaian lebih obyektif. ”Karena itu, banyak yang tidak ngeh kalau ada buku soal SBY,” kata seorang anggota panitia.

Dasim Budimansyah ingat ada buku soal Yudhoyono dalam seleksi. ”Pemimpin negara kok dieksploitasi, apa SBY tidak tersinggung?” katanya. Menurut dia, buku itu sempat memancing perdebatan. Tapi tim independen akhirnya sepakat hanya berpatokan pada kriteria penilaian Pusat Perbukuan. Anehnya, tak ada buku tentang tokoh politik selain Yudhoyono. ”Mungkin buku SBY oleh penerbit dianggap laku dan pasti lolos,” katanya.

Juru bicara Rosdakarya, Toni Kurnia, mengatakan perusahaannya juga mengajukan buku Sukarno, Muhammad Hatta, Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, Soeharto, Buya Hamka, dan KH Ilyas Ruhyat. ”Kami tak tahu alasannya, tapi cuma buku Sukarno, Hatta, dan SBY yang lolos,” ujarnya.

l l l

SERI Lebih Dekat dengan SBY dibanderol sekitar Rp 500 ribu per paket. Buku pembuka, Jalan Panjang Menuju Istana, berisi perjalanan hidup Yudhoyono dari masa kecilnya di Pacitan, Jawa Timur, membina karier di militer dan pemerintahan, mendirikan Partai Demokrat, hingga terpilih jadi presiden. Seri ditutup dengan buku Merangkai Kata Menguntai Nada yang menceritakan hobi Yudhoyono menulis puisi dan menciptakan lagu, lengkap dengan lirik-lirik tembang ciptaannya. Buku penutup dan pembuka ini meraih skor tiga bintang di tim penilai.

Buku Surat untuk Ibu Negara terbitan 2008 bercerita tentang Ani Yudhoyono yang membuat program perpustakaan keliling. Diceritakan, pengamen cilik bernama Imah yang orang tuanya tewas akibat kecelakaan. Ia menyurati Ani agar membantu kakaknya yang putus sekolah dan jadi tukang semir sepatu demi membiayai Imah. Dalam buku itu disebutkan kisah Imah merupakan dasar Ani Yudhoyono membuat Mobil Pintar, sebuah program perpustakaan keliling. Cerita berbeda ditemukan dalam biografi Kepak Sayap Putri Prajurit. Dalam buku itu, Ani mengatakan bahwa ide perpustakaan keliling berawal dari program bantuan yang digagasnya bersama Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu pada rekonstruksi Aceh pascatsunami.

Buku Surat untuk Ibu Negara sebetulnya tak ada dalam daftar buku pengayaan yang lolos seleksi Pusat Perbukuan—tapi ikut diedarkan ke sekolah-sekolah. Padahal buku bisa langsung masuk sekolah tanpa lewat seleksi tim penilai hanya jika termasuk ”karya sastra adiluhung atau sastra daerah”.

Menurut Toni Kurnia, semua buku Yudhoyono dan istri disusun atas seizin Istana. Setelah mendapat lampu hijau, mereka bolak-balik mengirim draf perbaikan. Rosdakarya baru berani naik cetak 3.000 eksemplar setelah Presiden merestui isi dan desain karikatur pada sampul buku. ”Ini cuma buku soal gerak langkah dan kegiatan Presiden, tidak ada muatan politiknya,” kata Toni. ”Apa yang salah dengan buku SBY yang masuknya sudah sesuai dengan prosedur?”

Sumber-sumber Tempo di Kementerian Pendidikan membisikkan lolosnya buku SBY tak lepas dari peran Agus Isbandono. Bos penerbit Mediantara Semesta ini lama malang-melintang di berbagai proyek buku pelajaran di Kementerian. Ia dikenal dekat dengan mantan Kepala Pusat Perbukuan Sugijanto.

Ketika proyek pengadaan buku perpustakaan dilaksanakan, Sugijanto merupakan orang nomor satu di Pusat Perbukuan. Menurut seorang sumber, Agus menjembatani Kementerian dengan penerbit. Ia bisa memuluskan buku-buku dari penerbit agar lulus seleksi. ”Semua yang ikut proyek Dana Alokasi Khusus masuk lewat dia,” ujar sumber Tempo.

Sumber itu menyatakan tak aneh jika buku lawan politik Yudhoyono mental di seleksi awal. Sebab, Agus selalu mengaku membawa kepentingan keluarga Presiden di Kementerian Pendidikan. Buku SBY pun bisa melenggang berkat peran Agus. ”Pejabat-pejabat Kementerian sungkan karena mereka tahunya Agus kerabat SBY,” kata sumber yang sama. Konon, Agus bahkan pernah membawa seorang pejabat Pusat Perbukuan menemui Nyonya Habibah, ibunda Yudhoyono.

Agus, yang dihubungi Tempo, Jumat pekan lalu, membantahnya. ”Saya memang orang Pacitan,” ujarnya, ”tapi saya bukan keluarga Presiden, apalagi membawa orang ketemu Ibu Habibah.”

Agus membantah jika dikatakan dirinya jadi pintu masuk proyek buku pengayaan. ”Saya ini cuma pengusaha kecil yang berdagang buku,” ujarnya. ”Ini ada yang terjepit kemudian menyebut-nyebut nama saya karena saya kebetulan orang Pacitan.”

Sugijanto, yang dicegat seusai rapat mendadak di kantor Pusat Perbukuan pada libur Imlek, Kamis pekan lalu, menolak meladeni pertanyaan. Begitu tahu ditunggui Tempo, ia buru-buru meninggalkan rapat yang membahas buku SBY itu.

Menurut juru bicara kepresidenan, Julian Pasha, Presiden mengetahui penerbitan buku-buku oleh penerbit Remaja Rosda. Tapi, kata dia, Presiden tak mengetahui penyebarannya ke sekolah-sekolah. Begitu juga soal seleksi buku di Kementerian Pendidikan. ”Mengetahui dan memberi restu penerbitan dengan penyebarannya ke sekolah adalah hal berbeda,” ujarnya.

Sekretaris Kabinet Dipo Alam juga mengatakan Presiden tidak tahu, tidak merencanakan, dan tidak menginginkan buku itu beredar di sekolah. Soal buku Ani Yudhoyono, Dipo menganggap pas buat pengembangan kepribadian. ”Bu Ani kan juga tokoh,” tuturnya.

Adapun Ade Irawan, Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, menilai buku SBY itu mengandung unsur politis. Apalagi buku lawan politik Yudhoyono tak lolos seleksi. Ia menganggap pelajar SMP rentan jadi sasaran kampanye politik karena sebagian besar bakal menjadi pemilih pemula pada Pemilihan Umum 2014.

Oktamandjaya Wiguna, Sunudyantoro (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung), Sigit Zulmunir (Garut), Ivansyah (Cirebon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus