Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aplikasi ChatGPT menimbulkan kontroversi di kalangan akademisi. Kepala Pusat Artificial Intelligence Institut Teknologi Bandung (ITB) Ayu Purwarianti, mengungkap cara kerja utama aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI) itu hasilnya tidak selalu akurat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ayu, teknologi ChatGPT berbeda dengan teknologi mesin pencari atau search engine seperti Google, Bing, DuckDuckGo, Baidu, dan lain-lain. Pada teknologi search engine, terdapat bagian dari dokumen sumber yang disimpan pada basis data.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan pada ChatGPT, dokumen sumber hanya digunakan untuk melatih deep learning, yaitu suatu metode kecerdasan buatan yang meniru proses kerja otak manusia. “Yang disimpan bukan isi dokumen sumbernya,” kata Ayu kepada pada Senin, 13 Februari 2023.
ChatGPT berhasil mengeluarkan jawaban yang diharapkan karena jumlah dokumen dan arsitektur deep learning model yang dipakainya berukuran besar. Cara ChatGPT menanggapi atau memberikan jawaban, menurut Ayu, yaitu dengan menebak rangkaian kata yang dipicu oleh masukan dari pengguna.
Namun begitu, hasil yang dikeluarkan ChatGPT tidak selalu akurat. “Jawaban yang dikeluarkan ChatGPT tidak dapat dijamin kebenarannya, harus dicek ulang,” kata dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB itu.
Guru Besar Bidang Ilmu Kecerdasan Buatan Fakultas Informatika Telkom University, Suyanto mengatakan, sebagian akademisi menganggap ChatGPT sebagai ancaman bagi dunia pendidikan. Sebagian lainnya justru memandang ChatGPT sebagai peluang.
“Karena terobosan besar teknologi artificial intelligence tersebut bisa menjadi alat yang memperlancar proses pendidikan dan mengakselerasi perkembangan sains, rekayasa, dan teknologi,” katanya Senin, 13 Februari 2023
Suyanto membandingkan kejadian sekarang ini mirip ketika kalkulator maupun internet pertama kali diperkenalkan. Setiap perguruan tinggi, bahkan hingga program studi, menurut dia, punya kebijakan dan aturan berbeda soal ChatGPT sesuai penilaian atau evaluasi hasil belajar yang digunakan. “ChatGPT perlu disikapi secara bijak,” katanya.
Pelarangan secara total, menurut Suyanto, jelas tidak mungkin dan bisa berdampak negatif. Sementara penggunaan secara bebas juga berpotensi buruk. “Langkah bijak yang bisa dilakukan adalah meminta para dosen untuk mengubah instruksi dan model evaluasi hasil belajar,” ujarnya.
Jika ChatGPT dilarang, kata dia, dosen harus memberikan instruksi dan penjelasan yang tegas. Alternatif lainnya, dosen membuat tugas berupa studi kasus yang benar-benar baru, sangat spesifik, dan menantang. “Untuk mendorong para mahasiswa berpikir kritis dan kreatif sehingga mereka tidak bisa hanya mengandalkan ChatGPT,” kata Suyanto.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.