Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUMPAH Pemuda di Ujungpandang dirayakan dengan acara tak lazim. Di Lapangan Karebesi, alun-alun kota, Kamis pekan lalu, bendera nasional yang dikerek bercorak berbeda. Ada bendera merah-putih dengan lambang matahari hitam di tengahnya dan dengan kalimat "Indonesia Timur Raya Merdeka" tercetak tebal di bagian bawah. Di sampingnya, dikerek pula bendera hijau dengan siluet Pulau Sulawesi mentereng di tengah.
Pembacaan teks sumpah dipelesetkan menjadi Sumpah Pemuda Indonesia Timur Raya. Lagu kebangsaan juga dipelintir menjadi Indonesia Timur Raya. Aksi mahasiswa itu memacetkan jalur lalu-lintas menuju Lapangan Udara Hasanuddin. Di Jalan Urip Sumohardjo di depan Kampus Universitas Muslim Indonesia, kendaraan tertahan oleh ban-ban bekas yang hangus dibakar. Batu dan balok-balok kayu melintang di tengah jalan. Suasana mencekam seperti sedang perang.
Lebih dari seribu mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar, Universitas Muslim Indonesia, Universitas Satria, Universitas Muhammadiyah Makassar, dan Universitas Pancasakti, serta sekelompok mahasiswa asal Irianjaya, memang mengisi perayaan Sumpah Pemuda dengan yel-yel protes. Mereka mendeklarasikan berdirinya Negara Indonesia Timur Merdeka, Indonesia Timur Raya, atau Sulawesi Merdeka. Acara serupa terjadi Manado.
Gerakan separatisme? Pihak keamanan dan pemerintah daerah setempat sampai saat ini belum berani mengambil kesimpulan seberani itu. "Ini hanya ekspresi kekecewaan semata-mata," kata Gubernur Sulawesi Selatan, Zaenal Basri Palaguna. Mahasiswa lebih suka menyebut aksi ini sebagai reaksi atas tersisihnya kawasan timur Indonesia dari pembangunan yang dipusatkan di Jawa saja. "Luka itu sudah lama ada. Momen yang kita pakai adalah ditolaknya pertanggungjawaban Habibie, yang merupakan representasi kawasan timur," kata Iswari Alfarisi, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM). Masuknya sejumlah nama asal Makassar ke dalam kabinet Gus Dur, seperti Erna Witoelar, Jusuf Kalla, dan Ryaas Rasyid, tidak mereka anggap sebagai jawaban terhadap tuntutan tersebut.
Lantaran terjadi setelah pidato Habibie ditolak, isu deklarasi tadi diduga sebagai reaksi elite politik Jakarta pro-Habibie. Harap maklum, saat ramai-ramainya bursa perebutan kursi presiden, kubu kaukus Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara) Golkar, yang dikomandani mantan Ketua Dewan Pertimbangan Agung A.A. Baramuli dan juga tokoh Golkar Marwah Daud, doyan mengumbar isu regional ini. Karena pembangunan terpusat di Indonesia barat, calon presidennya harus orang timur, begitu logikanya kira-kira. Dan orang yang tepat adalah Habibie, yang berasal dari Parepare. Ancamannya, Indonesia timur akan meminta merdeka jika Habibie urung menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Seorang petinggi Golkar hakulyakin bahwa tokoh penting Beringin seperti Baramuli, Marwah Daud, dan Nurdin Khalid-lah, yang juga pentolan Iramasuka, yang berada di balik aksi mahasiswa ini. Tapi tuduhan ini ditampik Marwah dan Baramuli. "Masya Allah, apa mungkin saya mendalangi mereka?" kata Marwah terkesiap. Mahasiswa yang berteriak-teriak di lapangan juga menolak dugaan skenario itu. Tapi Syamsuddin Fenetirma, mahasiswa asal Irianjaya yang turun berorasi di Lapangan Karebesi, mengaku menjalin "komunikasi" dengan sejumlah elite politik asal Indonesia timur di Irian dan Jakarta—meski ia enggan menyebut nama sang donatur.
Tidak semua mahasiswa mendukung ide separatisme ini. Mahasiswa Universitas Hasanuddin—kampus terkemuka di sana—lebih menuntut konsep federasi untuk "menyelamatkan" kekayaan daerah yang telah sekian lama kadung diisap Jakarta. Mereka dengan tegas menolak deklarasi mahasiswa lainnya. Bentrok terbuka bahkan hampir terjadi antara mahasiswa UNM dan mahasiswa asal Palu yang berniat membakar bendera Negara Indonesia Timur. Meski bentrok urung terjadi, tak ayal Jumat pekan lalu sebuah bus Damri hangus dibakar massa sebagai sasaran kemarahan.
Namun, ketertinggalan Celebes, nama klasik Pulau Sulawesi—juga daerah-daerah lain di Indonesia timur atau barat—adalah sebuah kisah yang murung. Pendapatan daerah Sulawesi Selatan, yang hampir Rp 5 triliun, hanya menetes seperlimanya ke daerah itu. Hal yang sama terjadi dengan Aceh, Riau, Irianjaya, dan daerah-daerah kaya sumber daya alam lainnya. Kini beban terpulang kembali ke pemerintahan Presiden Gus Dur, yang baru terbentuk. Hanya kesejajaranlah yang bisa membuat perpecahan dapat dicegah.
Arif Zulkifli, Andari K. Anom (Jakarta), Tomi Lebang (Ujungpandang), Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo