Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Baru-baru ini suara toa masjid kembali dipermasalahkan. Kali ini kritik datang dari media asing Agence France-Presse atau AFP dalam sebuah artikel berjudul “Kesalehan atau hiruk pikuk? Indonesia Mengatasi Reaksi Volume Azan” pada Kamis, 14 Oktober 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Media internasional yang berpusat di Paris, Prancis, ini menuliskan bahwa salah satu narasumber dengan nama samaran Rina mengaku alami gangguan kecemasan lantaran kerap terbangun pukul 3 pagi oleh suara toa masjid. Rina, yang juga seorang muslim, mengaku takut mengeluh sebab keluhannya bisa membuatnya dijebloskan ke dalam penjara atau diserang massa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 19 Mei 2021 lalu misalnya, diduga salah paham soal toa masjid, sebuah kompleks perumahan mewah di Gading Serpong, Kabupaten Tangerang, digeruduk massa. Mereka marah karena mendengar penghuni Cluster Illago Perumahan Gading Serpong memprotes suara toa Masjid Jami di Dusun Curug Sangereng, yang berada tak jauh dari perumahan tersebut.
Lalu, bagaimana sebenarnya aturan terkait penggunaan toa atau pengeras suara di masjid? Aturan penggunaan toa di masjid telah diatur dalam Lampiran Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla atau kerapnya disebut Instruksi Dirjen Bimas Islam 101/1978.
Dalam lampiran instruksi tersebut diatur syarat-syarat penggunaan pengeras suara, di antaranya tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat. Selain itu, waktu membunyikan tarhim pun sebenarnya telah diatur dalam instruksi tersebut. Sementara untuk suara azan, dalam instruksi tersebut disebutkan memang harus ditinggikan berdasarkan anjuran Nabi Muhammad, karena sebagai tanda telah tiba waktu salat.
Selain itu, tarhim dan sebagainya boleh diputar apabila orang yang mendengarnya berada dalam keadaan siap untuk mendengarkannya, bukan dalam waktu tidur, istirahat, sedang beribadah atau melakukan upacara.
Berikut ketentuan penggunaan toa masjid yang dikutip Tempo dari dokumen Instruksi Dirjen Bimas Islam 101/1978:
1. Waktu Subuh
Penggunaan pengeras suara paling awal sebelum datangnya waktu salat Subuh adalah 15 menit. Kesempatan ini digunakan untuk membangunkan kaum muslimin yang masih tidur, untuk menyiapkan salat, membersihkan diri, dan lain-lain.
Kegiatan pembacaan ayat suci Al-Quran maupun tarhim dapat menggunakan pengeras suara ke luar, sementara toa di dalam masjid tidak perlu dibunyikan karena dapat mengganggu orang beribadah di masjid. Bila diperlukan untuk kepentingan jamaah, salat Subuh, kuliah Subuh, dan semacamnya menggunakan pengeras suara dan hanya ditujukan ke dalam saja.
2. Waktu Zuhur dan Jumat
Penggunaan pengeras suara paling awal sebelum datangnya waktu salat Zuhur atau Jumatan adalah lima menit menjelang Zuhur dan 15 menit menjelang waktu Jumat, diisi dengan bacaan Al-Quran yang ditujukan ke luar. Sementara untuk bacaan salat, doa, pengumuman, khutbah dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.
3. Asar, Magrib, dan Isya
Penggunaan pengeras suara paling awal sebelum datangnya waktu salat asar adalah lima menit sebelum azan, dan dianjurkan dengan membaca Al-Quran. Ketika waktu salat telah tiba, dilakukan azan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam. Sesudah azan, sebaiknya hanya menggunakan pengeras suara ke dalam.
4. Takbir, Tarhim, dan Ramadan
Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar. Tarhim berupa doa menggunakan pengeras suara ke dalam dan tarhim berupa zikir tidak menggunakan pengeras suara. Pada bulan Ramadan di siang dan malam hari sebagaimana pada hari dan malam biasa, dengan memperbanyak pengajian, bacaan Al-Quran menggunakan pengeras suara ke dalam.
5. Upacara hari besar Islam dan Pengajian
Penggunaan pengeras suara saat pengajian hanya boleh menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam dan tidak untuk ke luar, kecuali jika pengunjung tablig atau hari besar Islam memang melimpah ke luar.
HENDRIK KHOIRUL MUHID