HARI sudah pukul 10 pagi ketika seorang lelaki tampak memanjat tiang telepon di depan kantor Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Lampung Selatan sekitar 60 km dari Tanjungkarang. Tapi, tak seorang pun pedagang di pasar, yang letaknya tak. jauh dari kantor kecamatan itu, mengacuhkannya. Dengan cekatan, lelaki itu memutuskan kabel telepon dan listrik sekaligus. Tak lama kemudian, sekitar 50 orang lelaki, tua dan muda, berkerumun di depan kantor kecamatan itu. Mereka membawa bermacam senjata tajam, golok, linggis, dan celurit, serta pentungan. Beberapa di antaranya berusaha mendobrak pintu dan mencongkel engselnya. Di antara mereka, tampak seorang lelaki tua berusia 70-an, yang dikenal dengan nama Embah Irorejo. Para anggota polisi sektor Pringsewu, yang kantornya persis di depan kecamatan, masih tenang-tenang saja, sampai ketika Camat Drs. Tarmizi melarikan diri lewat pintu belakang dan melapor kepada polisi. Empat polisi segera datang dan mencoba menenangkan suasana. Mereka tidak berhasil meskipun tembakan-tembakan peringatan dilepaskan. Sebagian gerombolan itu malah menyerang keempat alat negara itu dan membacok tiga di antaranya. Karena itu, tak ada jalan lain bagi polisi selain menembak Embah Irorejo, yang diduga pemimpin gerombolan itu. Si Embah jatuh tersungkur: dua tembakan di kaki kanan, satu lagi di kaki kiri. Gerombolan pun bubar, sementara para korban diangkut ke rumah sakit. Kelompok penyerang pada kejaian tanggal 28 Desember lalu itu ternyata berasal dari sebuah perguruan pencak silat yang menamakan diri "Gerakan Pancasila" alias "Gerakan Paku Alam", yang dipimpin sang lmbah. "Sebenarnya, mereka masuk: ke perguruan itu hanya untuk belajar silat," kata Marsono, 23, juru bicara perguruan itu. Selain itu, agaknya mereka juga tertarik pada kesaktian si Embah. Beberapa pengikut "Gerakan Paku Alam" ini (tidak ada hubungannya dengan Sri Paku Alam VIII, wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta) percaya bahwa Embah Irorejo mampu memetik buah kelapa tanpa memanjat pohonnya konon justru pohon nyiu itu yang merunduk. Ia juga dipercaya bisa berjalan kaki menempuh jarak puluhan kilometer konon, lebih cepat dari kendaraan bermotor. Yang lebih menarik adalah pengakuan Sukarno, 40, salah seorang pengikut Embah Irorejo. Katanya, Gerakan Pancasila" menuntut keadilan dan pelaksanaan Pancasila dan UUD 45 semurni-murninya. Selama ini, - katanya, banyak penduduk yang menurus surat-surat di kantor kelurahan atau kecamatan selalu dipersulit. "Sebaliknya, orang-orang Cina-lah. yang dilayani," tuturnya lagi. Dalam keterangannya kepada Drs. Suwardi Ramli, kepala Direktorat Sosial Politik Kabupaten Lampung Selatan, Saliyo, pengikut gerakan si Embah, menyatakan para pedagaang non pribumi yang mengotori pasar, tapi penduluk pribumi yang disuruh membersihkan. Pendeknya, penduduk pribumi menuduh pamong desa, juga polisi, lebih dekat dengan penduduk "nonpribumi." Embah Irorejo sendiri yang sudah uzur dan kini terbaring di rumah sakit itu ternyata masih bisa melontarkan unek-uneknya. "Pancasila dan UUD 45 itu sebenarnya sudah bagus, hanya orang-orang yang nenjalankannya yang belum adil," katanya. "Para pejabat di kantor kecamatan dan. polisi Pringsewu itu tidak menjalankan Pancasila dan UUD 45," ujarnya lagi. Karena itu, ia memerintahkan untuk menyerang kedua kantor itu. Sebuah sumber mengungkapkan, gerakan tersebut agaknya merupakan reaksi ketidakberesan penyelenggaraan pemilihan kepala desa Pringsewu pada awal Desemer tahun lalu. honon, ada beberapa lembar blangko pemilihan palsu, sementara ada pula pemilih yang masih di bawah umur. Menurut Abdul Japar, 55, yang akhirnya terpilih sebagai kepala desa Pringsewu, memang ditemukan blangko yang tidak dicap. "Tapi mungkin hanya kekhilafan belaka," katanya.