Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUSUTAN dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) memasuki babak baru. Jaksa telah melimpahkan berkas penyidikan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang persidangannya akan dimulai pada Kamis pekan ini.
Terdakwa perkara ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman serta mantan Direktur Pengelola Informasi dan Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Sugiharto.
Juru bicara Pengadilan, Yohanes Prihana, mengatakan ada lima hakim yang bakal mengadili keduanya. Mereka adalah Franky Tambuwun, Emilia, Anshori, dan Anwar, dengan hakim ketua John Halasan Butar Butar. Lima hakim ini bakal menghadapi 24 ribu lembar dokumen dengan tinggi hampir 2,5 meter. "Dakwaan dimampatkan menjadi 121 halaman," kata Yohanes pada Jumat pekan lalu.
Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki dugaan korupsi proyek e-KTP sejak pertengahan 2014. Selama hampir tiga tahun, Komisi memeriksa 294 saksi dan 5 ahli. Selama penyidikan, KPK menyita uang Rp 247 miliar dalam pecahan rupiah senilai Rp 206,95 miliar, Sin$ 1.132, dan US$ 3.036.715,64.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan ada sejumlah pengusaha di konsorsium pemenang tender yang mengembalikan duit proyek yang mereka tilap. Agus menegaskan penyidikan tak akan berhenti pada dua terdakwa. Dengan nilai korupsi Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun, KPK menduga banyak orang terlibat bancakan ini.
Pejabat yang bolak-balik diperiksa adalah mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni. Ketika proyek e-KTP dimulai pada 2011, dia menjabat sekretaris jenderal.
Diah pertama kali diperiksa pada 4 Juli 2014, tiga bulan setelah Sugiharto menjadi tersangka. Akhir tahun lalu, KPK mengebut pemeriksaan terhadap Diah. Seorang pemimpin KPK memastikan nama Diah bakal muncul dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. "Perannya cukup penting," ujarnya.
Peran Diah pada mulanya diungkap Paulus Tannos, bos PT Sandipala Arthapura, satu perusahaan anggota konsorsium pemenang tender. Proyek ini dimenangi konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia. Paulus menuturkan, Diah diduga merekayasa pengerjaan proyek e-KTP.
Pada 19 Desember 2011, Diah memimpin rapat dengan anggota konsorsium, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, dan PT Sucofindo di ruang kerjanya di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. Sugiharto juga hadir dalam pertemuan itu. Sandipala tak diundang dalam pertemuan. Hasilnya, porsi pekerjaan Sandipala dikurangi dari semestinya Rp 1,63 triliun menjadi Rp 950 miliar. Paulus Tannos meradang.
Pejabat lain di KPK menuturkan, Diah diduga menerima dan mengatur uang dari konsorsium untuk pejabat di Kementerian Dalam Negeri. "Diah juga terima suap walaupun sedikit," katanya.
Seorang mantan pejabat di Kementerian Dalam Negeri menuturkan peran Diah cukup sentral dalam kongkalikong ini. "Dia mengetahui banyak aliran dana," ucapnya. Agus Rahardjo mengkonfirmasi peran Diah. "Yang jelas cukup penting."
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan penyidik sudah mengkonfirmasi peran Diah dalam sejumlah pertemuan. Diah tak banyak bicara tentang pemeriksaan-pemeriksaan di KPK. Setelah diperiksa pada 13 Januari lalu, ia hanya mengatakan sedang melengkapi berkas penyidikan. Ketika dikontak melalui telepon pada Kamis pekan lalu, ajudannya yang menjawab. "Bu Diah sedang ada kegiatan," katanya.
Tak cuma mengincar pejabat Kementerian, KPK juga mulai membidik politikus Dewan Perwakilan Rakyat. Sejauh ini KPK telah memeriksa setidaknya 19 politikus. Mereka antara lain eks pimpinan fraksi, pimpinan dan anggota Komisi Pemerintahan, serta pimpinan Badan Anggaran DPR. Menurut Agus Rahardjo, ada empat politikus Senayan menyerahkan uang ke KPK. "Saya tidak perlu menyebut namanya, tapi ada," kata Agus.
Seorang politikus yang berkali-kali diperiksa KPK adalah mantan Ketua Komisi Pemerintahan Chairuman Harahap. Chairuman membantah ada lobi-lobi untuk mengegolkan proyek ini, termasuk bagi-bagi duit dari pemenang tender untuknya. "Enggaklah. Duit dari mana? Hebat banget saya," ucapnya.
Politikus lain yang pernah diperiksa KPK adalah Khatibul Umam Wiranu dari Partai Demokrat dan Miryam S. Haryani dari Hanura. Khatibul pernah menjadi Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR. Menurut dia, penyidik lebih banyak bertanya tentang mekanisme pembahasan, pentingnya e-KTP, dan posisinya di Komisi Pemerintahan.
Khatibul juga ditanya soal uang suap. "Tapi saya tidak mengerti," katanya. Ia mengaku tak tahu-menahu soal lobi-lobi pemerintah ke Senayan tentang proyek ini, termasuk dugaan manuver Ketua Komisi Pemerintahan membagikan suap kepada anggotanya. "Saya tidak tahu, tidak terlalu kenal Chairuman," ujar Khatibul.
Seorang pejabat KPK mengatakan, dalam pemeriksaan pertama, Khatibul memberikan sejumlah informasi signifikan mengenai kasus ini, termasuk dugaan aliran duit kepada anggota Dewan. Saat diperiksa yang kedua kali, Khatibul mencabut keterangannya karena diteror politikus lain. "Itu rumor," kata Khatibul.
Keterangan Miryam juga sama. Menurut dia, saat diperiksa penyidik belum sampai menanyakan aliran uang suap. Soal ancaman politikus lain agar ia tak buka rahasia, Miryam juga membantah. "Tidak ada teror, I’m happy," katanya.
Politikus Senayan yang paling acap disebut dalam dugaan korupsi e-KTP adalah Setya Novanto, yang kala itu menjadi Ketua Fraksi Golkar. Tudingan ini disampaikan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. "Yang mengkoordinasikan pembagian uang suap adalah Setya Novanto," ujar Nazaruddin.
Penelusuran Tempo mengungkap peran Ketua DPR ini. Lewat seorang pengusaha, dia menyiapkan vendor perangkat keras dan lunak, seperti automated fingerprint identification system, merek komputer, dan chip, untuk proyek ini.
Menurut seorang pengusaha anggota konsorsium, beberapa kali Setya mengundang ke rumah dan kantor perusahaannya di Equity Tower untuk membicarakan proyek itu. Kali lain di ruang kerja Setya di gedung DPR. Andi Agustinus dan Chairuman Harahap, kata pengusaha ini, selalu hadir.
Dalam sejumlah pertemuan itu, Setya selalu menagih "jatah" uang proyek. Nilainya berubah-ubah. Semula angkanya lima persen dari total nilai proyek, lalu naik menjadi sepuluh persen. Setya mengatakan tak tahu-menahu soal urusan uang komitmen. "Kalau urusan persentase, saya tidak mau ikut campur. Itu urusan pengusaha, bukan masalah saya," tutur Setya ketika dimintai konfirmasi.
Untuk meredam namanya terseret korupsi ini, Setya bermanuver dengan mengambil hak inisiatif DPR mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dengan memangkas sejumlah kewenangan penyidikan. Draf revisi tersebut sudah disosialisasi ke beberapa kampus.
Kepala Keahlian DPR Johnson Rajagukguk mengkonfirmasi perintah pimpinan DPR dalam sosialisasi draf revisi aturan itu. "Setelah ada pergantian pimpinan," katanya. Setya kembali menjadi Ketua DPR setelah diskors akibat tepergok meminta saham Freeport tahun lalu. Posisinya diisi Ade Komarudin, yang kemudian dipecat oleh Dewan Kehormatan DPR.
Selain ke Sekretariat DPR, Setya meminta anggota Fraksi Golkar di Badan Legislatif untuk mempercepat revisi Undang-Undang KPK. Pada Januari lalu, ia memanggil dua politikus Golkar, Firman Soebagyo dan Misbakhun, ke ruangannya di Nusantara III agar mensosialisasi aturan versi DPR tersebut.
Firman membantah ada perintah Setya. "Tidak ada," ujarnya. Adapun Misbakhun tak menampik kehadirannya dalam pelbagai seminar untuk sosialisasi itu. "Saya hanya menjalankan tugas sebagai anggota Baleg," katanya.
KPK tak terganggu oleh upaya Setya menggergaji kewenangan mereka. Penyidik mendapat petunjuk mengenai peran Setya dalam megakorupsi ini dari Irman dan Sugiharto. Menurut pengakuannya kepada KPK, Irman bertugas melobi politikus Senayan agar menyetujui proyek ini. Adapun Sugiharto melobi perusahaan pelaksananya.
KPK telah menyita kuitansi, notulensi, dan daftar hadir salah satu rapat penggarapan proyek e-KTP yang berlangsung di Hotel Crowne dan Millennium, Jakarta. Setya juga sudah diperiksa dua kali pada 13 Desember 2014 dan 4 Januari lalu. Ketua Umum Partai Golkar tersebut selalu membantah terlibat dalam proyek ini. "Saya tidak ada hubungannya," ujarnya.
Peran Setya dan aliran uang korupsi proyek e-KTP akan terungkap dalam sidang pembacaan dakwaan pada Kamis pekan ini. Seperti kata Ketua KPK Agus Rahardjo, dakwaan untuk Irman dan Sugiharto akan memunculkan banyak nama terkenal. "Mudah-mudahan tidak ada guncangan politik," tutur Agus.
Wayan Agus | Anton Septian | Hussein Abri | Maya Ayu Puspitasari | Istman M.P.
Proyek Kacau
Proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dimulai pada 2011 dengan skema anggaran berkelanjutan. Aroma korupsi meruak. Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa ratusan anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat dan menetapkan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka. Kisruh ini membuat proyek e-KTP kacau.
1. Nama proyek:
- KTP berbasis nomor induk kependudukan nasional
2. Pelaksana:
- Kementerian Dalam Negeri
3. Waktu:
- 1 tahun 6 bulan (2011-2012)
4. Anggaran:
- Rp 5,9 triliun
5. Pemenang tender:
- Konsorsium PT Percetakan Negara Republik Indonesia
- PT LEN Industri (alih teknologi, AFIS)
- PT Quadra Solution (hardware, software) subkontrak penyimpanan data ke PT Biomorf Lone Indonesia
- PT Sucofindo (bimbingan teknis)
- PT Sandipala Arthaputra (pencetakan)
Persoalan:
- Tak ada kontrak pengelolaan database antara Biomorf dan Kementerian Dalam Negeri.
- Biomorf hanya memberi sebagian kode akses.
- Perekaman tak bisa masuk ke pusat data, terhenti di luar sistem.
Data pribadi yang tersimpan dalam database KTP elektronik:
1. Foto muka
2. Sidik 10 jari tangan
3. Foto iris mata
4. Tanda tangan penduduk
5. Data demografi, seperti nama diri, nama orang tua, alamat rumah, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, serta riwayat kepindahan alamat
Kapasitas per server: 110 terabyte
Nilai kontrak: US$ 30 sen atau
Rp 4.000 untuk setiap data penduduk
Total penduduk: 257,9 juta
Jejak masalah
11 Mei 2010
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dalam rapat dengan Komisi Pemerintahan DPR menyatakan kebutuhan biaya KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional Rp 6,67 triliun.
Juni 2011
Kementerian Dalam Negeri mengumumkan konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia sebagai pemenang tender.
1 Juli 2011
Kementerian Dalam Negeri dan konsorsium pemenang tender menandatangani kontrak proyek e-KTP.
September 2012
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki kejanggalan proses tender.
14 November 2012
KPPU memutuskan adanya persekongkolan tender e-KTP. Konsorsium divonis membayar denda Rp 20 miliar yang disetor ke kas negara. Putusan ini digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Maret 2013
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Percetakan Negara. KPPU mengajukan permohonan kasasi atas putusan ini.
22 April 2014
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto sebagai tersangka korupsi e-KTP.
Oktober 2014
Mahkamah Agung menolak kasasi KPPU.
7 September 2016
KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman sebagai tersangka korupsi e-KTP.
12 Oktober 2016
KPK memeriksa eks Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
19 Oktober 2016
KPK menahan Sugiharto.
13 Desember 2016
KPK memeriksa Ketua DPR Setya Novanto, yang merupakan Ketua Fraksi Golkar saat anggaran e-KTP dibahas.
Januari 2017
KPK mengungkapkan 14 orang dari DPR, pemerintah, dan pengusaha mengembalikan uang yang berkaitan dengan proyek e-KTP.
Februari 2017
PT Biomorf menagih kontrak baru untuk merawat data penyimpanan e-KTP.
Korupsi Terbesar
Proyek e-KTP
Rp 5,9 triliun (kerugian: Rp 2,3 triliun)
Hambalang
Rp 1,2 triliun (kerugian: Rp 706 miliar)
Simulator SIM
Rp 196,6 miliar (kerugian: Rp 121 miliar)
Radio Komunikasi Terpadu
Rp 180 miliar (kerugian: Rp 89,3 miliar)
Wayan Agus Purnomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo