Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Salah seorang Presiden RI yang dikenal dengan keputusan-keputusannya yaitu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia dikenal sebagai seorang presiden yang memiliki dedikasi tinggi terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembela kaum minoritas di Indonesia.
Gus Dur dilahirkan di Jombang, Jawa Timur 7 September 1940. Sebelum memakai nama Gus Dur dan Abdurrahman Wahid, ia lebih dulu menggunakan nama Abdurrahman Ad-Dakhil yang artinya sang penakluk. Lantaran nama tersebut asing dilingkungannya, akhirnya nama tersebut diganti menjadi nama Abdurrahman Wahid. Sedangakan panggilan Gus—yang artinya abang atau “mas”—ia dapatkan di lingkungan pesantren.
Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya adalah KH. Wahid Hasyim Ashari, putra dari KH. Hasyim Ashari. Sedangkan kakek Gus Dur dari garis keturunan ibunya adalah Rais ‘Aam di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai pengganti posisi KH. Wahab Chasbullah.
Gus Dur tumbuh besar dikalangan intelektual, hal ini cukup mempengaruhinya. Sebab, sejak kecil ia sudah gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Tidak hanya perpustakaan ayahnya, Gus Dur juga kerap menyambangi perpustakaan nasional.
Berdasarkan kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, selain membaca, ia juga hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan, Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Lebih lanjut, Gus Dur juga gemar menonton bioskop. Ia sangat mengapresiasi terhadap perfilman di Indonesia. Hal inilah yang membuatnya pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Setelah lulus di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gowongan, Gus Dur menghabiskan masa remajanya di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di pesantren ini ia banyak menimba ilmu, hingga ilmu bahasa untuk menunjang bacaannya. Menukil nu.or.id, ketika itu Gus Dur sudah menamatkan buku karya Ernest Hemingway, John Steinbach, Will Durant, hingga buku Lenin berjudul What Is To be Done.
Memasuki usia 22 tahun ia diberangkatkan haji ke tanah suci. Setelah itu, Gus Dur dikirim belajar ke Al-Azhar University, Kairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah) dari tahun 1964 sampai 1966, lalu ia ke Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab pada 1966 hingga 1970.
Sepulangnya dari “petualangan’ mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan menjadi guru. Pada 1971 ia bergabung di Fakultas Ushuluddin Universitas Tebu Ireng, Jombang. Pada tahun 1974, Gus Dur diminta pamannya, KH Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris.
Jika periode 1970-an Gus Dur banyak berkegiatan di pesantren, pada 1984 ia dipilih secara aklamasi oleh tim ahl hall wa al-`aqdi yang dipimpin oleh KH As`ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan ini diterima Gus Dur selama tiga kali setelah muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung, Jawa Barat (1994).
Setelah reformasi, Juli 1998, Gus Dur menanggapi pendukungnya untuk membuat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia menyadari bahwa partai politik merupakan satu-satunya cara untuk berjuang di dunia politik (pemerintahan). Kala itu Gus Dur menjabat sebagai Dewan Penasehat.
Sejak awal 1999 PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat calon presiden Indonesia. Ketika itu PKB berkoalisi dengan PDIP. Pada 20 Oktober 1999, dalam sidang umum MPR mulai memilih presiden baru, Gus Dur kemudian terpilih sebagai Presiden RI ke-4 dengan 373 suara. Ia unggul 60 suara dari Megawati.
GERIN RIO PRANATA
Baca: Putri Gus Dur: Kalo Aku Unggah Lelucon ini Diperiksa Nggak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini