SEBUAH kehadiran penting dalam dunia peradilan hari-hari ini ditunggu oleh umat Islam Indonesia. Itulah yang disebut lembaga peradilan agama yang seragam dan mandiri, yang sudah lebih dari seabad dinantikan. Sabtu pekan lalu, Menteri Agama Munawir Sadjali atas nama pemerintah mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU PA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Naskah RUU yang terdiri dari tujuh bab dan 108 pasal itu diterima Wakil Ketua DPR, H.J. Naro, untuk selanjutnya akan dibahas oleh para wakil rakyat. Jika UU PA itu disetujui dan disahkan DPR nanti, "maka akan berakhirlah keanekaragaman nama, wewenang, dan susunan peradllan agama sebagai akibat dari politik hukum pemerintah kolonial Belanda dulu," kata Munawir Sjadzali di depan sidang paripurna DPR. Itu juga berarti kedudukan PA akan sejajar dan sederajat dengan peradilan lainnya -- peradilan militer, umum, dan tata usaha negara. Sudah lebih dari seabad PA memang seperti peradilan semu," sekaligus lembaga yang tak memiliki aturan main yang tertulis secara baku dan lengkap. Soalnya, tugas dan wewenang PA selama ini berpijak pada beberapa peraturan perundangan lama, dua di antaranya masih produk pemerintah kolonial: Staatsblad 1882 dan tahun 1937 Dari kedua dasar hukum itu pula PA di Jawa dan Madura, serta Kerapatan Qadli -- nama lain untuk PA -- di sebagian Kalimantan Selatan diresmikan keberadaannya oleh pemerintah Belanda. Tapi sebetulnya PA sudah tumbuh dan hidup sejak berabad-abad lalu, jauh sebelum pemerintah penjajahan menginjakkan kakinya di negeri ini. Lembaga itu punya wewenang mengadili berbagai perkara perdata di bidang hukum keluarga Islam, seperti perkawinan, waris, wakaf, dan sehngkar persoalannya lainnya. Di masa-masa itu, masyarakat kerap menyebut lembaga itu dengan istilah "pengadilan serambi", karena bersidang di serambi masjid. Lalu dengan adanya campur tangan politik pemerintah Belanda, wewenang PA "dikebiri". Di Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan lembaga ini hanya diperkenankan mengurusi masalah nikah-talak cerai-rujuk (NTCR), tidak boleh menangani masalah waris. Perkara yang berhubungan dengan soal warisan dilimpahkan ke peradilan umum (pengadilan negeri). Sementara itu, untuk wilayah di luar Jawa-Madura, PA belakangan lewat Peraturan Pemerintah Tahun 1957, PA ini diresmikan dengan nama Mahkamah Syar'iah -- tetap memiliki wewenang itu. Lebih dari itu, sebagaimana juga diikuti oleh Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, setiap putusan PA harus dikukuhkan dan hanya bisa dieksekusi melalui pengadilan negeri. Dengan kata lain, PA tidak berwenang mengeksekusi langsung putusannya sendiri. Bila nanti RUU PA. disahkan menjadi undang-undang, garis sejarah itu mungkin tinggal menjadi kenangan pahit. Dalam RUU PA ditegaskan bahwa PA berwenang mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah. Nama lembaga itu juga diseragamkan menjadi PA, dengan kedudukan di tiap ibu kota kabupaten atau kota madya. Kecuali itu, PA tidak akan bergantung lagi pada peradilan umum. Putusan PA, dalam RUU, dinyatakan tak memerlukan pengukuhan lagi dari pengadilan negeri. Sebaliknya, masih dalam RUU, PA juga kami memiliki organ juru sita, sehingga tak usah mengupayakan persetujuan eksekusi dari pengadilan negeri. Inilah sebuah langkah kemenangan buat PA. Selain soal kedudukan dan wewenang dalam RUU juga diatur tata cara berperkara di PA. Sebab, seperti juga kedudukan dan wewenangnya, akibat masih diberlakukannya peraturan produk kolonial, hingga kini belum ada keseragaman proses beracara di PA. Beberapa aturan pelengkapnya memang ada, tapi masih berserakan -- ada di dalam Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran ataupun Peraturan Mahkamah Agung, Surat Edaran Menteri Agama ataupun Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama. Padahal, aturan yang seragam dan tertulis tegas amat penting untuk menjamin adanya kepastian hukum. Itu sebabnya, RUU PA sekaligus memuat acara berperkara di PA. Pada prinsipnya, proses berperkara di PA tak berbeda dengan tata cara yang diterapkan di peradilan umum. Hanya dalam pemeriksaan sengketa perkawinan, dan biaya perkara tata caranya diatur secara khusus. Beda itu adalah dalam kewenangan PA. Dalam PP No. 9 Tahun 1975 permohonan cerai talak dari suami diajukan ke PA di wilayah tempat tinggalnya, sebaliknya RUU PA menentukan itu dilakukan di tempat tinggal si istri. Begitu juga gugatan cerai yang diajukan pihak istri, menurut RUU, cukup dimasukkan di PA wilayah tempat tinggalnya, tak perlu di PA tempat tinggal si suami. Itu semua, kata Menteri Agama, tak lain untuk meningkatkan derajat dan martabat kaum wanita. Sebab, "Tata cara cerai talak dan cerai gugat dalam PP No. 9 Tahun 1975 kurang mencerminkan perlindungan terhadap pihak istri sebagai kaum yang lemah," katanya. Jelas, RUU PA bukanlah suatu pekerjaan gampang. Tak heran Jika proses penyusunannya tak hanya melampaui waktu yang panjang, tapi juga cukup alot. RUU itu sendiri sebenarnya sudah dipersiapkan sejak 1971, berdasarkan Instruksi Presiden Tahun 1970. Hanya saja naskah yang berisi pokok-pokok dan kandungan RUU PA ketika itu tak bisa dilanjutkan ke DPR. Menteri Kehakiman waktu itu menyarankan agar RUU tersebut disampaikan setelah Undang-Undang Peradilan Umum dan Mahkamah Agung selesai disahkan DPR. Pada masa Menteri Agama Mukti Ali, usaha penyusunan RUU PA dimulai lagi. Ketika itu tim penyusun berangotakan wakil-wakil dari Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Departemen Agama, Universitas Indonesia, dan Fakultas Syar'iyah IAIN Jakarta. Tim yang diketuai oleh Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama Prof. Busthanul Arifin itu memang berhasil menyusun RUU PA dan RUU Acara Perdata PA. Tapi karena Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara juga mengatur susunan dan kekuasaan bersama acaranya, akhirnya pihak pemerintah sepakat untuk menggabungkan dua RUU tadi menjadi satu RUU saja, yakni RUU PA, yang juga berisi acaranya. Gabungan inilah yang kini akan dibahas oleh lembaga legislatif DPR, untuk disahkan menjadi undang-undang. Banyak pihak tampaknya menyambut gembira upaya ini. Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah K.H. Ahmad Azhar Basyir, misalnya, mengatakan, "Umat Islam memang sudah lama menuntut terbitnya undang-undang itu," ujar K.H. Ahmad Azhar Basyir. Menurut Nurcholish Madjid, kehadiran sebuah UU PA memang sudah menjadi tuntutan pembangunan hukum nasional. Tapi, "Jangan lantas ada kesan eksklusif," ucap peneliti LIPI itu. Memang, realita hukum UU PA itu adalah hukum Islam, "Namun, secara nasional 'kan sudah menjadi hukum universal, milik kita bersama," sambungnya. Sementara itu, beberapa praktisi hukum lebih menilik manfaat UU PA itu dari segi keseragaman penerapan hukum Islam di pengadilan agama. Dengan begitu, kata Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan, M. Saleh Rasyid, kesimpangsiuran praktek dan pembinaan hukum Islam yang selama ini terjadi akan segera hilang. Menurut Rasyid, di wilayah Sumatera, UU PA diperkirakan akan efektif. Sebab, lebih dari 17.000 buah perkara waris yang diputus selama empat tahun di situ, hanya sekitar 1,13% yang diupayakan naik banding. Rekan Rasyid dari Jawa Barat, H. Ahin Ibrahim, malah menganggap UU PA akan membuat PA lebih berwibawa dan putusannya bisa mengikat. Selama ini, katanya, pengadilan agama tak bisa memaksa saksi yang tak mau menghadiri sidang perceraian. Begitu juga soal ketaatan terhadap putusan. "Kami memang cuma bersandar pada keikhlasan pihak yang berperkara. Soal ini berkait dengan akidah masing-masing," kata Ibrahim. "Dengan sarana dan jumlah personel yang ada sekarang, saya sangsi perluasan wewenang Pengadilan Agama itu dapat terlaksana dengan baik." Menurut Menteri Agama, Munawir Sjadzali, masalah sarana dan dana ini sudah dipikirkan masak-masak oleh Departemen Agama. Begitu pula soal jumlah Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama (PTA), dan hakim agama. Jumlah hakim agama sekarang ada sekitr 1223 orang. Dengan kemampuan menerima rata-rata 100 hakim per tahun, Departemen Agama merencanakan akan menambah sebanyak 1.213 hakim lagi. Sedangkan jumlah PTA kini 18 buah, dan akan ditambah lagi sebanyak tiga buah, dan 301 buah PA. Ketua Mahkamah Agung, Ali Said. menyatakan instansi dan aparatnya selaku puncak poros PA sudah siap menyambut berlakunya UU PA nanti. "Mahkamah Agung sudah lama memiliki bagian peradilan agama. Tinggal nanti mengembalikan wewenang memeriksa perkara waris, wasiat, dan wakaf saja dari pengadilan negeri ke pengadilan agama," kata Ali Said kepada Gunung Sardjono dari TEMPO. Menurut Nyonya Nani Yamin, bagaimanapun mutu dan perilaku hakim agama harus sesuai dengan kedudukan dan wewenang PA yang akan semakin berbobot. "Hakim agama harus dengan wawasannya, mengikuti perkembangan pesat di masyarakat. Kalau hakimnya diangkat dari sarjana hukum, harus yang benar-benar paham dan mendalami syariah," kata Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBH UWK), yang sering menangani perkara sengketa perkawinan Islam itu. Selain itu, masalah ketaatan terhadap proses dan putusan PA, seperti disinggung Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Ahin Ibrahim, juga bukannya persoalan yang mudah ditegakkan. Sebab, tidak tertutup kemungkinan phak yang berperkara di pengadilan agama, dalam sengketa waris, umpamanya, menempuh upaya hukum ke pengadilan negeri jikalau merasa putusan PA dirasa kurang adil. Tapi, bagaimanapun, "putusan PA bersifat final, jika telah berkekuatan tetap, dan mengikat para pihak berperkara," kata Prof. Mohammad Daud Ali, anggota penyusun RUU PA. Menurut Dr. A. Gani Abdullah, 42 tahun, sebaiknya dalam RUU PA ditetapkan secara tegas bahwa setiap orang yang beragama Islam hanya berperkara di PA, sejauh menyangkut masalah yang menjadi wewenang PA. Hal itu untuk menghilangkan sifat "mendua" yang masih dikandung RUU PA, sehingga memungkinkan pihak yang berperkara menempuh upaya hukum lagi ke peradilan umum. Tapi menurut Menteri Agama, RUU PA memang masih memungkinkan orang menempuh upaya ke PU. Yakni apabila terjadi perselisihan menenai hak milik ataupun keperdataan yang menyangkut warisan dan wakaf. Bagitu juga jika ada pihak ketiga yang menuntut kepemilikan harta bersama dan suatu sengketa perkawinan. Persoalan lain adalah masalah materi hukumnya. Sebab, kalaupun RUU PA itu menjadi undang-undang, toh lembaga itu hanya sekadar sarana. Eksitensi PA yang mandiri dan seragam, mau tidak mau, harus ditunjang pula oleh adanya hukum materiil bagi para aparat penegak hukumnya. Masalah yang satu ini, sebenarnya, juga turut membuat alotnya pembenahan lembaga PA. Hanya saja, persoalannya kini hukum Islam dari sumber mana yang disepakati akan dianut. Kenyataan yang terjadi selama ini, para hakim agama selalu merujuk hukum Islam yang berasal dari berbagai kitab klasik untuk memeriksa suatu perkara. Akibatnya, banyak putusan yang berbeda untuk dua kasus yang sama. Menurut Prof. Daud Ali, sumber rujukan materi hukum itu akan diambil sepenuhnya dari hasil Kompilasi Hukum Islam, akhir 1987. Tim Proyek Kompilasi Hukum Islam yang diketuai Prof. Busthanul Arifin, selama tiga tahun, bekerja untuk menelurkan hukum Islam yang tertulis dan baku, dengan menempuh empat cara. Cara pertama, mengirim sekitar 200 kuesioner, yang berisi pertanyaan pokok soal hukum keluarga Islam, kepada para ulama di seluruh Indonesia. Para tokoh ormas dan ketua PA juga termasuk responden. Cara kedua, tim membagikan 42 kitab fikih rujukan ke beberapa IAIN untuk diresumekan. Cara ketiga, memilih putusan-putusan PA yang sudah puluhan tahun dan masih dapat diterapkan untuk masa sekarang. Sedangkan cara keempat, mengadakan studi perbandingan dengan negara-negara yang menerapkan hukum Islam. Hasil gabungan keempat cara itu: sebuah rancangan kompilasi aneka rupa dari hukum syariat dan hukum hasil ijtihad ulama klasik dan modern. Berikutnya, dari rancangan itu tim berhasil menyusun tiga buah buku tentang Perkawinan (19 bab), Kewarisan (9 bab), dan Wakaf (5 bab). Selanjutnya isi ketiga buku itu dilokakaryakan lagi di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Februari 1988. Di Lokakarya itu, sekitar 13 guru besar, 46 kiai, 21 sarjana hukum, para hakim agung dan hakim tinggi, para fukaha, dan beberapa rektor IAIN membahasnya dari berbagai sudut mazhab. Lokakarya itu, menurut Menteri Munawir Sjadzali, bisa dikatakan sebagai ijma' atau kesepakatan ulama Indonesia, sebagai salah satu sumber hukum Islam, setelah Quran, hadis, dan qiyas atau analogi. K.H. Ali Yafie mengatakan hasil kompilasi itu merupakan suatu reformulasi tertulis dari materi hukum fikih yang diangkat menjadi bahasa undang-undang. Masih banyak, memang, permasalahan dan materi hukum yang melingkup di sekitar lembaga PA. Hal itu menunjukkan pembenahan PA bukanlah soal yang gampang. Setidaknya perlu pembahasan yang lebih matang dan jernih (lihat Bukan Sebatas Nikah, Talak, Cerai, Rujuk). Begitupun di DPR, Menteri Munawir pagi-pagi sudah menandaskan agar kehadiran UU-PA bisa diterima dengan lapang dada oleh penganut agama lain. "Kehadiran peradilan agama semata-mata kehendak sejarah dan tidak akan mengganggu kepentingan penganut agama lainnya," ujar Munawir. Tapi, bagaimana kata para anggota DPR? Anggota FPP, Koensholehoedin, misalnya, hanya menyatakan soal perkawinan dalam RUU-PA itu sudah cukup bagus. Di antaranya, masalah perlindungan wanita dalam soal gugatan cerai. "Dengan begitu, tak akan ada lagi perkawinan di bawah tangan," ujarnya. Kemungkinan DPR akan membahas RUU tersebut setelah masa reses, Mei mendatang.Happy S, Rustam F. Mandayun (Jakarta), Hasan Syukur (Bandung), dan Makmun Al Mujahid (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini