Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPUCUK surat masuk ke meja pimpinan Dewan Perwakilan Daerah pada Senin, 30 Oktober lalu. Isinya laporan dugaan pelanggaran etik Jimly Asshiddiqie. Surat yang dikirim Tommy Diansyah, warga Jakarta, itu menyoal rangkap jabatan Jimly sebagai anggota DPD dan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jimly ditunjuk sebagai Ketua MKMK pada Selasa, 24 Oktober lalu. Saat ini Jimly tercatat sebagai anggota DPD dari Jakarta. Bersama hakim konstitusi Wahiduddin Adams dan guru besar Universitas Pelita Harapan, Bintan R. Saragih, Jimly akan mengadili dugaan pelanggaran etik dan konflik kepentingan hakim konstitusi dalam memutus perkara gugatan syarat calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilihan Umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan Undang-Undang Pemilu itu ditangani Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Ia dituding melanggar Pasal 17 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang melarang hakim memeriksa gugatan yang menguntungkan hakim dan keluarganya. Gugatan Pasal 169 Undang-Undang Pemilu itu membuat Gibran Rakabuming Raka, keponakan Anwar Usman, bisa melaju menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto.
Maka surat Tommy Diansyah menyoal problem etik Jimly yang hendak menangani pelanggaran etik hakim konstitusi. “Kami putuskan surat itu dibawa ke Badan Kehormatan DPD,” ujar Wakil Ketua DPD Sultan Bachtiar Najamudin, Jumat, 3 November lalu.
Dalam Undang-Undang tentang DPR, DPR, DPRD, dan DPD Pasal 302, anggota DPD terlarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara. Badan Kehormatan DPD, kata Sultan, akan memastikan apakah jabatan Ketua MKMK Jimly memiliki sumber keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau tidak ada gajinya. “Kalau mendapat gaji dari APBN, Profesor Jimly harus mundur dari DPD,” tutur Ketua Komite I DPD Fachrul Rozi pada Sabtu, 4 November lalu.
Meski begitu, Fachrul tidak yakin perkara ini akan bisa diselesaikan tepat waktu. MKMK akan memutus dugaan pelanggaran etik Anwar Usman pada 7 November, sebelum penetapan calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan pembentukan Badan Kehormatan DPD baru bisa disahkan dalam rapat paripurna yang waktunya belum jelas.
Jimly membantah bila posisinya di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi disebut sebagai bentuk rangkap jabatan. “MKMK cuma seminggu, ad hoc saja,” katanya pada Selasa, 31 Oktober lalu.
Selain masalah rangkap jabatan, pilihan politik Jimly kini menjadi soal. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia ini pernah menyatakan secara terbuka dukungannya kepada Prabowo Subianto. Pernyataan Jimly mendukung Prabowo disampaikan kepada pers setelah ia menyambangi rumah Prabowo di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada 1 Mei lalu. Dia mengulangi pernyataan dukungannya setelah bertemu dengan Prabowo pada Jumat, 20 Oktober lalu, empat hari sebelum penunjukannya sebagai Ketua MKMK.
Jimly mengaku berjumpa dengan Prabowo untuk membahas visi dan misi Prabowo sebagai calon presiden. “Saya diundang sebagai ahli tata negara,” tuturnya.
Kini posisi Jimly juga merembet pada pilihan politik anaknya. Robby Ferliansyah Asshiddiqie menjadi kader Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra sejak 2011. Dia dua kali maju sebagai calon anggota legislatif pada 2014 dan 2019 dari Daerah Pemilihan Jakarta, tapi gagal. “Sejak Februari 2023, saya keluar dari Gerindra,” kata Robby.
Mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, mengatakan, secara kemampuan, Jimly Asshiddiqie orang yang tepat memimpin MKMK. “Ilmunya sangat cukup dan ia sukses memimpin MK dulu. Tapi kita tidak tahu perkembangan saat ini,” ucap Suparman, Rabu, 1 November lalu.
Jimly, menurut Suparman, juga pernah menyetop upaya Komisi Yudisial mengawasi hakim konstitusi. Pada 2006, sejumlah hakim agung menggugat Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi agar Komisi Yudisial tak bisa mengawasi mereka. Sebagai Ketua MK saat itu, Jimly memutuskan bahwa Komisi tetap bisa mengawasi hakim agung, tapi tak bisa mengawasi hakim konstitusi. “Padahal tidak ada dalam gugatan,” ujar Suparman. “Ini namanya ultra petita.”
Melebihi kewenangan ini pula yang dilakukan oleh Anwar Usman. Ia menambahkan frasa “atau pernah terpilih dalam pemilihan umum” jika syarat usia minimal 40 tahun tak terpenuhi oleh seorang calon presiden dan wakil presiden. Menambahkan isi pasal adalah tugas pembuat undang-undang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat. “Wajar jika publik, termasuk saya, khawatir terhadap independensi dan imparsialitas Pak Jimly,” kata Suparman.
Jimly membantah anggapan bahwa ia tak independen dalam menangani perkara etik Anwar Usman dan delapan hakim konstitusi. “Nanti you nilai kalau sudah diputus,” ucapnya. “Etika itu bukan hanya soal retorika, tapi dilakukan saja.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ade Ridwan Yandwiputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Problem Etik Pengadil Etika"