Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"MELIHAT-lihat negeri Vietnam itu sangat menarik," tutur Ny.
Lasmidjah Hardi, isteri Dubes Rl di Vietnam, Hardi SH la pekan
lalu pulang ke Jakarta untuk selama 10 hari menyertai suaminya
sehubungan dengan kunjungan PM Republik Demokrasi Vietnam, Pham
Van Dong ke mari. "Terutama Hanoi, hampir semua jalan-jalannya
bagus. Di kiri-kanannya banyak pohon-pohon rindang. Juga ada
beberapa telaga dalam kota," sambungnya.
Ia amat terkesan suasana kehidupan di sana yang mirip-mirip
kehidupan masyarakat di Yogya di tahun-tahun awal Revolusi. Ny.
Lasmidjah di tahun-tahun awal Revolusi termasuk wanita aktip,
antara lain ikut menyelenggarakan rapat umum dilapangan Ikada
Jakarta, 19 September 1945 yang terkenal itu. "Pokoknya kalau
kita pernah mengalami masa-masa Revolusi di Indonesia -- apalagi
kalau kita terbiasa dengan hidup sederhana -- kita bisa
'menikmati' kehidupan di Vietnam," katanya lagi.
Setiap kali Ny. Lasmidjah bertanya kepada orang Vietnam tentang
'kesederhanaan'kehidupan mereka, selalu terdengar jawaban yang
sama: "Kita ini kan baru selesai dari perang 30 tahun. Dan tentu
saja belum sempat membangun." Mobil-mobil pribadi di sana tidak
ada. Semuanya mobil dinas. Bis dan trem kota ada juga, tapi
sedikit. "Becak juga ada di kota-kota. Tapi umumnya orang
menggunakan sepeda."
Reruntuhan bekas perang tentu saja masih ada. Tapi gedung-gedung
kuno juga masih banyak. Juga bangunan keagamaan seperti kuil
atau pagoda. "Di hari Minggu, cukup banyak juga yang mengunjungi
gereja," kata Ny. Lasmidjah lagi. Dan ternyata mesjid juga ada.
Tapi cuma satu, untuk orang-orang asing yang beragama Islam. Di
hari Lebaran orang Indonesia yang pegang peranan.
Sejak setahun ini ada beberapa rombongan turis yang jalan-jalan
ke sana, meskipun agak sulit juga mendapatkan visa. Tapi umumnya
mereka menJaagi kemungkinan bisa tidaknya berdagang. Menurut
penglihatan Ny. Lasmidjah, keadaan sehari-hari disana cukup
aman. "Kalau kita keluar rumah jam 12 malam atau jam 3 dini
hari, tak ada gangguan," katanya. "Mungkin copet ada juga tapi
saya belum pernah mendengar," sambungnya.
Tidak semua tempat bisa dikunjungi apalagi dipotret. Maka
seperti halnya banyak orang asing, Ny. Lasmidjah pun "harus tahu
diri." Tidak semua toko atau restoran bisa dikunjungi. Toko-toko
kecil umumnya memang milik pribadi tapi toko-toko besar adalah
milik negara.
Tapi hampir semua bahan kebutuhan makan yang biasa kita makan
sehari-hari di Indonesia, di sana ada beras, singkong, ketela,
ikan asin atau daun kangkung. Di desa-desa, seperti halnya di
pedesaan Indonesia, juga banyak orang jualan jagung rebus atau
bakar singkong dan ketela rebus. Menunya memang hampir sama
dengan kita di sini. Yang terpenting bubur dan mi.
Tapi sementara makanan (sederhana) cukup, makanan untuk rohani
kurang. "Jangan terlalu berharap bisa mendapatkan undangan
pertunjukan kesenian. Sangat jarang, meskipun juga ada
gedung-gedung teater," katanya. Tema sandiwara dan tari-tarian
Vietnam masa kini umumnya tema perjuangan Ny. Lasmidjah beberapa
kali pernah keluar-masuk kampung nonton kesenian rakyat
setempat. Hasil kerajinan tangan rakyat di sana, menurut Ny.
Lasmidjah, sebenarnya amat menarik. "Sayang belum banyak
dikembangkan. Tapi kerajinan tangan yang bahannya dari keong,
sangat maju," komentarnya.
Meskipun pendidikan dan pengobatan gratis, tapi di sana semua
orang tampak bekerja keras. "Pendeknya kalau ada orang nganggur
ya tidak ada harganya sama sekali," katanya. "Semua orang
bekerja dan pakaian mereka pun Imat sederhana. Hampir seragam,"
tambahnya. Para wanita pun bekerja keras. "Meski begitu toh saya
agak keberaan juga kalau ada wanita yang sudah lanjut usia
masih juga bekerja. Ada yang memikul beban yang berat-berat,"
ujarnya.
Tapi itu semua hanyalah pandangan sekilas. "Sebab saya tidak
omong-omong dengan mereka," katanya. Menurut Ny. Lasmidjah,
untuk sementara ini rakyat biasa memang belum diijinkan bicara
banyak dengan orang asing.
lagi mereka umumnya bicara dalam hdhasa Vietnam, tentu.
"Orang-orang terpelajar dewasa, umumnya memang menggunakan
bahasa Perancis -- seperti halnya kita di sini berbahasa
Belanda-tapi anak-anak muda dan rakyat biasa tidak," tutur Ny.
Lasmidjah lagi, yang di sana juga mengambil kursus bahasa
Perancis.
Bahkan di Hari Raya Tet, Ny. Lasmidjah tak mungkin bertemu
dengan orang-orang Vietnam. Ia tak bisa, misalnya seperti di
hari raya Idul Fitri di Indonesia, mengunjungi beberapa keluarga
Vietnam. "Padahal saya ingin sekali misalnya berkunjung ke
rumah-rumah keluarga karyawan KBRI yang terdiri dari orang-orang
Vietnam. Seperti sopir, koki, tukang kebun," katanya.
Kalau pun bisa ketemu, hanya dengan tokoh-tokoh, itu pun
terbatas dalam resepsi-resepsi resmi. omong-omong dengan ramah
dan senyum-senyum. Dan selesai sampai di situ. Dengan Madame
Bien yang terkenal itu misalnya, Ny. Lasmidjah juga hanya
bertemu dalam resepsi. Di mata Ny. Lasmidjah, wanita ini amat
hebat. Kini menjabat Menteri Pendidikan, Madame Bien pernah
menjadi Menlu Vietnam dalam Kabinet Gerilya dulu. Bahkan sangat
menonjol dalam perundingan-perundingan di Paris.
Yang juga amat menarik ialah, para isteri pejabat Vietnam tak
pernah menyertai suaminya dalam acara-acara resmi. Dan para
wanita karir pun tampil di masyarakat tanpa mengikut-sertakan
suami. "Pokoknya mereka tampil karena jabatan atau karirnya
sendiri. Bukan karena jabatan suaminya." katanyallgi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo