Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua menduga Satgas Gabungan TNI Koops Habema melanggar hukum perang saat melakukan operasi di Kampung Titigi, Ndugu Siga Jaindapa, Sugapa Lama, dan Zanamba, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, Rabu, 14 Mei 2025 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilihan editor: Konflik Bersenjata TNI dan OPM Papua Memanas Lagi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator koalisi, Emanuel Gobay, mengatakan satgas gabungan TNI diduga menyasar masyarakat sipil dalam konfliknya dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Emanuel menilai tindakan itu merupakan kejahatan perang dan bentuk pelanggaran HAM berat.
"Adanya fakta belasan masyarakat sipil Papua yang menjadi korban dalam operasi penindakan terhadap OPM di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah bisa dikatakan Satgas Gabungan TNI Koops Habema melanggar hukum perang," kata Emanuel dalam keterangan resmi pada Ahad, 18 Mei 2025.
Emanuel menjelaskan ada perbedaan keterangan antara TNI dengan Bupati Intan Jaya ketika menyampaikan korban di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, pada Rabu, 14 Mei 2025. TNI, kata Emanuel, menyampaikan Satgas Gabungan TNI menewaskan 18 anggota TPNPB - OPM, termasuk salah satu pentolannya Nekison Enumbi alias Bumi Walo Enumbi.
Namun, Emanuel mengatakan Bupati Kabupaten Intan Jaya menyebutkan bahwa hanya ada 4 orang TPNPB - OPM yang tewas. Sementara, ada beberapa masyarakat sipil tewas dan beberapa warga lainnya belum diketahui informasinya.
Atas dasar keterangan bupati itu, Emanuel menduga TNI menyasar masyarakat sipil Papua yang hidup dalam wiayah konflik bersenjata di Intan Jaya. Koalisi pun menilai Satgas Gabungan TNI Koops Habema tidak menjalankan perintah ketentuan Pasal 3 ayat (1), Konvensi Jenewa Tahun 1949 yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 Tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.
Aturan itu berisi hukum internasional mengikat kepada pihak-pihak yang berkonflik. Salah satu isinya, konflik tidak boleh menyasar masyarakat sipil.
Koalisi pun meminta Menteri HAM Natalius Pigai memastikan Satgas Gabungan TNI Koops Habema mematuhi Undang Undang Nomor 59 Tahun 1958 Tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Selain itu, koalisi mendorong dibuatnya kebijakan pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan perang sesuai rumusan pelanggaran Pasal 3 ayat (1) Konvensi Jenewa Tahun 1949.
"Lalu mendorong adanya kebijakan tentang perlindungan masyarakat sipil di daerah konflik bersenjata intenal di Indonesia," kata dia.
Adapun koalisi ini terdiri dari LBH Papua, PAHAM Papua, ALDP, SKP KC Sinode Tanah Papua, SKP Fransiskan, Yadupa, Elsham Papua, LBH Papua Merauke, dan Kontras Papua.
Tempo sudah mencoba menghubungi Kepala Pusat Penerangan Markas besar TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi dan Menteri HAM Natalius Pigai mengenai hal ini. Namun, keduanya belum merespons.
Sebelumnya, Satgas Habema terlibat baku tembak dengan milisi TPNPB di Distrik Sugapa pada Rabu, 14 Mei 2025 dini hari. Pada peristiwa itu, 18 milisi TPNPB pimpinan Undius Kogoya dinyatakan tewas.
Namun, Sebby Sambom membantah pernyataan TNI. Dia mengatakan pernyataan tewasnya 18 milisi adalah informasi keliru. Sebab, jumlah korban tewas dari milisi adalah 3 orang, dan 2 di antaranya menjadi korban luka.
Kepala Penerangan Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih Kolonel Candra Kurniawan mengatakan pernyataan OPM yang menuding TNI menembak warga sipil merupakan propaganda yang acapkali dilakukan.
Menurut dia, dengan menyebarkan tudingan TNI menembak warga sipil, OPM berupaya mendiskreditkan keberadaan TNI dan mencari simpati publik guna menutupi tindakan keji mereka.
"Keberadaan TNI adalah untuk menjaga keamanan masyarakat, sehingga tidak mungkin kalau kemudian prajurit melakukan tindakan seperti itu kepada masyarakat," ujar Candra.
Andi Adam Fathurrahman berkonstribusi dalam tulisan ini
Pilihan editor: Bagaimana Pemerintah Cina Mengatur Penggunaan AI di SD-SMA?