Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Mantan Jaksa Agung - Eks Menteri Melayat ke Rumah Rahman Tolleng

Mantan Jaksa Agung Marsillam Simanjutak sampai mantan Menteri Lingkungan Hidup era Presiden Soeharto melayat ke rumah Rahman Tolleng

29 Januari 2019 | 13.02 WIB

Aktivis Angkatan 1966, Rahman Tolleng. TEMPO/Nita Dian
Perbesar
Aktivis Angkatan 1966, Rahman Tolleng. TEMPO/Nita Dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Bandung - Tokoh pergerakan Rahman Tolleng meninggal pada Selasa, 29 Januari 2019. Istri Rahman Tolleng, Tati Rahman, mengenang perjuangan suaminya melawan penyakit komplikasi. Rahman wafat pada hari ini, Selasa, 29 Januari 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bapak sudah lama sakit dan sampai mau menyerah," kata Tati saat ditemui di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta Pusat. Menurut dia, tokoh penggerak lahirnya Forum Demokrasi itu telah mengidap sejumlah penyakit selama belasan tahun.

Rahman menderita sakit komplikasi gagal ginjal, jantung dan gula. Beberapa tahun terakhir, Rahman Tolleng bahkan mengeluh letih dengan penyakitnya. Semangat hidupnya sempat menurun.

Saat ini, jenazah Rahman sudah berada di rumah duka di Jalan Cipedes Tengah 133, Bandung. Beberapa tokoh seperti mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup era Soeharto Sarwono Kusumaatmadja, advokat senior Albert Hasibuan, dan mantan Jaksa Agung Marsillam Simanjuntak hadir di rumah duka.

Hingga saat ini sahabat dan teman Rahnman Toleng terus berdatangan. Pemakaman rencananya akan dilalukan di TPU Cibanurai pukul 14.00.

Rahman Tolleng dikenal sebagai aktivis demokrasi. Melalui akun twitternya, sastrawan dan pendiri Tempo Media, Goenawan Mohamad menulis, "Rahman Tolleng, aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSos) sejak akhir tahun 1950-an meninggal pagi ini di Jakarta. Pejuang demokrasi yang konsisten, tanpa pamrih, berkali-kali gagal — tanpa putus asa. Sahabat yang tak selamanya sepaham."

Rahman Tolleng dikenal sebagai politikus idealis. Dorongan berpolitiknya datang dari rasa keindonesiaan yang bersemi ketika dia masih duduk di kelas 3 sekolah dasar di Watampone, Sulawesi Selatan di penghujung 1945. Hampir setiap petang, bersama teman sepermainannya, ia mengintip sekelompok anak muda berlatih baris-berbaris di jalan raya. Mereka mengenakan pakaian putih dengan emblem merah-putih tersemat di dada.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus