Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tanpa Payung Memburu Harta

Undang-Undang Perampasan Aset memungkinkan negara mengambil alih harta ilegal tanpa putusan pengadilan. Bisa digunakan mengusut BLBI.

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tanpa UU Perampasan Aset, pemerintah kesulitan menyita aset pelaku kejahatan.

  • Dari sejumlah kasus korupsi, jumlah aset yang disita jauh lebih kecil ketimbang kerugian negara.

  • Dalam kasus BLBI, sebagian aset milik obligor dan debitor telah berpindah tangan.

KEPALA Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae masygul begitu mendengar Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset tak bisa masuk ke Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Ia sebelumnya mengharapkan draf regulasi itu bisa diselipkan untuk dibahas tahun ini. “Saya mengira akan menjadi kenyataan, ternyata belum berhasil tahun ini,” kata Dian dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Jumat, 8 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PPATK menjadi salah satu inisiator penyusun RUU Perampasan Aset sejak 2008. Waktu itu, pemerintah Indonesia baru saja meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi. Isi perjanjian antarnegara itu antara lain mengatur tentang perampasan dan pengembalian aset.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Dian, regulasi Indonesia belum optimal dalam menyelamatkan aset yang berasal dari tindak kejahatan. Salah satu kendala adalah aparat tak bisa menyita aset jika pengadilan tak mampu membuktikan tindak pidana pokok seperti korupsi dan perdagangan narkotik. Perampasan aset juga sulit berjalan ketika terdakwa menjadi buron atau meninggal.

Dian mencontohkan skandal rasuah kartu tanda penduduk elektronik. Komisi Pemberantasan Korupsi menaksir kerugian negara dalam kasus itu mencapai Rp 2,3 triliun. Namun nilai aset yang disita pemerintah dari para terpidana baru Rp 400-an miliar. “Makin lama tak dirampas, aset ilegal itu sulit dideteksi atau beralih menjadi aset yang legal,” ujar Dian.

Kepala PPATK periode 2002-2011, Yunus Husein, punya pengalaman berurusan dengan perampasan aset tanpa melalui pemidanaan. Ia bergabung dengan tim yang memburu aset buron skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Hendra Rahardja. Pemilik Bank Harapan Sentosa itu kabur ke Australia setelah menggarong duit negara sebesar Rp 2,6 triliun.

Hendra tak pernah hadir selama proses penyidikan karena tertangkap otoritas Australia pada 1999. Meski pemerintah Indonesia dan Australia memiliki perjanjian ekstradisi, Hendra tak pernah dipulangkan. Ia divonis hukuman penjara seumur hidup dalam persidangan in absentia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2002.

Setahun kemudian, Hendra dinyatakan meninggal di Negeri Kanguru. “Ketika kami akan memulangkan asetnya, otoritas Australia tak mengenal sistem pengadilan tanpa kehadiran terdakwa,” kata Yunus.

Otoritas hukum Australia kemudian menawarkan solusi. Mereka sudah memiliki The Proceeds of Crime Act. Salah satu isinya adalah pemilik harus melakukan pembuktian terbalik terhadap aset yang dicurigai. Jika asal-usul harta tak jelas, pemerintah dapat langsung merampas aset tersebut.

Selain itu, aparat penegak hukum bisa merampas aset buron yang sudah meninggal dengan penetapan pengadilan. Menempuh jalur hukum tersebut, pemerintah Indonesia dapat menarik aset Hendra senilai Aus$ 642 ribu, sekitar Rp 6,6 miliar dengan kurs sekarang.

Kasus serupa pernah terjadi di Indonesia. Pengadilan Negeri Bogor, Jawa Barat, sempat mengadili kasus pemalsuan data di bank dengan tersangka bernama Nindy Helsa. Ia membuat identitas palsu untuk membuka rekening di Bank BJB cabang Bogor. Nindy memakai rekening itu untuk menampung duit transfer dari Uni Emirat Arab.

Ia tercatat pernah menerima kiriman dolar dari Al Finar General Trading senilai US$ 409.982 atau berkisar Rp 5 miliar. Nindy lantas didakwa dalam kasus pemalsuan data dan pencucian uang. Ketika skandal ini bergulir di pengadilan, Nindy tak pernah diketahui keberadaannya. Dana yang masuk ke rekening Bank BJB atas nama Nindy juga tak ada yang mengklaim.

Menurut Yunus, pengadilan akhirnya menetapkan aset Nindy dirampas untuk negara. Salah satu pertimbangan majelis hakim: pembiayaan perkara ditanggung oleh negara sehingga semua dana yang mengendap di rekening Nindy dinyatakan sebagai aset negara. “Bukti-bukti kejanggalan aset sudah menjadi dasar yang kuat bagi pengadilan untuk memutuskan penyitaan,” ucap Yunus.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menjelaskan, RUU Perampasan Aset menjadi instrumen pengambilalihan aset tanpa menunggu vonis pengadilan. Jika hamba wet menunggu kasusnya berkekuatan hukum tetap, aset itu berpotensi dijual. Pemiliknya pun bisa berpindah kewarganegaraan atau meninggal. “Kalau menunggu inkracht, kami kehilangan kesempatan menyelamatkan aset negara,” ujar Mahfud kepada Tempo.

Ketua Dewan Pengarah Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia itu mencontohkan, pemerintah menengarai sejumlah aset tanah para obligor dan debitor BLBI telah berpindah tangan. Salah satunya lahan eks Bank Namura di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, dan aset di perumahan Lippo Karawaci. Sebelum berpindah tangan, sebagian aset itu sempat disewakan.

Anggota Badan Legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat, Masinton Pasaribu, menjelaskan, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset bisa mengisi kekosongan dalam sistem hukum penanganan tindak pidana bermotif ekonomi. Selama ini, payung hukum perampasan aset tak jelas sehingga pemerintah atau penegak hukum kewalahan.

Masinton mencontohkan pelacakan dan penyitaan aset dalam kasus suap PT Pertamina dan Innospec pada 2015. Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menangani perkara ini, harus menjalin komunikasi diplomatik dan perjanjian timbal balik dengan sejumlah negara untuk menyelidiki aset para tersangka, antara lain Inggris, Singapura, dan British Virgin Islands. “Butuh waktu lama untuk mengambil aset tersebut,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.

KPK kesulitan mendapatkan dokumen dari perbankan Singapura yang tak pernah mau mengirimkan data kepada penegak hukum Indonesia. Komisi antikorupsi akhirnya menggandeng PPATK dan Suspicious Transaction Reporting Office, lembaga intelijen keuangan Singapura, untuk melacak transaksi para tersangka. Dari lalu lintas transaksi, terlacak isi rekening tersangka di Bank UOB Singapura senilai US$ 190 ribu, yang kini telah dirampas negara.

Meski RUU Perampasan Aset tak bisa dibahas di Program Legislasi Nasional Prioritas 2021, Kepala PPATK Dian Ediana Rae optimistis draf itu bisa disahkan awal tahun depan. Menurut dia, aturan itu bisa memperbaiki kredibilitas sistem hukum di Indonesia dan mendorong investor datang. “Banyak kejahatan ekonomi tak bisa diselesaikan dan mempengaruhi kredibilitas kita di mata internasional,” tuturnya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus