Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Mengapa Menteri HAM Tak Persoalkan Dedi Mulyadi Kirim Anak Nakal ke Barak

Menteri HAM meyakini program Dedi Mulyadi mengirim anak ke barak militer berorientasi pada pembentukan disiplin, mental, dan karakter.

8 Mei 2025 | 10.28 WIB

Para pelajar di Purwakarta mengikuti program pembinaan karakter di Mabes TNI Resimen Armed Purwakarta. Antara/HO-Pemkab Purwakarta
Perbesar
Para pelajar di Purwakarta mengikuti program pembinaan karakter di Mabes TNI Resimen Armed Purwakarta. Antara/HO-Pemkab Purwakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

GUBERNUR Jawa Barat Dedi Mulyadi mengirim anak-anak yang dianggap nakal ke barak militer. Pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerja sama dengan TNI AD untuk melaksanakan gagasan Dedi tersebut. Program itu telah berlangsung sejak Kamis, 1 Mei 2025.

Program yang diberi nama Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan tersebut dilaksanakan di dua tempat, yaitu Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi, Bandung, dan Markas Resimen Armed 1/Sthira Yudha/1 Kostrad Kabupaten Purwakarta. “Program ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan kedisiplinan pelajar,” kata Dedi saat meninjau pelaksanaan program tersebut di Purwakarta pada Sabtu, 3 Mei 2025, seperti dikutip dari Antara.

Mantan Bupati Purwakarta itu menyebutkan sejumlah orang tua mulai tertarik mendaftarkan anak-anak mereka dalam program serupa. Dia menuturkan program kedisiplinan ini telah diikuti oleh pelajar dari berbagai kabupaten dan kota di Jawa Barat, sebagai bagian dari upaya menekan angka kenakalan remaja.

Menurut dia, melalui program itu para pelajar akan mendapatkan sejumlah materi tambahan dari berbagai unsur sebagai bagian dari pembinaan menyeluruh dalam membentuk karakter yang kuat dan positif.

Kebijakan Dedi itu mendapat kritik dari berbagai kalangan. Namun Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai tidak mempersoalkan kebijakan Dedi mengirim anak ke barak militer untuk pendidikan karakter.

Alasan Menteri HAM Persilakan Dedi Mulyadi Kirim Anak ke Barak

Menteri HAM mempersilakan Dedi Mulyadi mengirim anak ke barak militer untuk pendidikan karakter. Syaratnya, kata dia, anak-anak yang dinilai bermasalah itu tidak boleh dicubit atau dipukul.

Pigai menilai cubitan dan pukulan adalah bentuk corporal punishment atau hukuman fisik. Dia menyebutkan metode tersebut merupakan cara-cara lama yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

“Cubit telinga, dia pukul, atau pukul kakinya supaya kami disiplin, itu namanya corporal punishment,” kata Pigai di Kantor Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Selasa, 6 Mei 2025.

Dia menuturkan hukuman fisik bertentangan dengan HAM. Maka dari itu, dia berujar siswa yang dikirim ke barak militer tidak boleh mendapat hukuman fisik agar tidak bermasalah secara prinsip. Meski demikian, Pigai mengklaim kebijakan Dedi tidak mengandung aspek hukuman fisik. 

Mantan komisioner Komisi Nasional HAM itu meyakini pengiriman anak ke barak di Jawa Barat berorientasi pada pembentukan disiplin, mental, dan karakter. “Maka tidak melanggar HAM dan kami mendukung pemerintah Jawa Barat itu,” ucapnya.

Namun Pigai tidak menjawab dengan tegas saat ditanya mengenai pengawasan yang akan dilakukan oleh Kementerian HAM atas program pendidikan di barak. Pigai hanya menyebutkan pemerintah akan mengawasi dan memberikan usulan yang baik kepada pelaksanaan kebijakan tersebut.

Pigai mengatakan kebijakan Dedi itu tidak melanggar undang-undang apa pun, khususnya Undang-Undang tentang HAM. “Komnas HAM tidak merujuk kepada undang-undang apa pun,” kata dia menyikapi pernyataan Komnas HAM yang mengkritik Dedi.

Dia berujar pendidikan anak di barak tidak termasuk pendidikan kewarganegaraan. Pigai mengklaim pendidikan anak di barak memiliki karakteristik lain. “Ini pendidikan yang berorientasi pada produktivitas dan kompetensi, knowledge, skill, dan attitude,” tuturnya.

Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro merespons rencana Dedi mengirim anak bermasalah ke barak. Atnike mengharapkan Dedi meninjau ulang wacana tersebut. “Sebetulnya itu bukan kewenangan TNI untuk melakukan edukasi, civic education,” kata Atnike usai acara di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 2 Mei 2025.

Menurut Atnike, tidak ada permasalahan saat anak hanya pergi ke barak untuk pemahaman mengenai pendidikan karier tentara. Tetapi apabila rencana membawa anak itu dalam konteks pendidikan militer, maka itu tidak tepat. “Keliru jika itu dalam bentuk hukuman. Itu proses di luar hukum, kalau tidak berdasarkan hukum pidana atau hukum pidana bagi anak di bawah umur,” kata dia.

DPR Kritik Langkah Dedi Mulyadi Kirim Anak Nakal ke Barak

Adapun Ketua Komisi bidang Pendidikan (Komisi X) DPR Hetifah Sjaifudian mengkritik keputusan Dedi Mulyadi yang mengirim anak nakal ke barak militer. Hetifah mengatakan pendidikan karakter dan bela negara memang menjadi kurikulum pemerintahan saat ini, tapi implementasinya bukan dengan jalan mengirim siswa ke barak.

“Konsep bela negara lebih ditekankan pada pembangunan kesadaran nasionalisme, cinta tanah air, dan kesiapan mental. Bukan melalui pelatihan militer,” kata Hetifah di kompleks parlemen pada Selasa, 6 Mei 2025.

Politikus Partai Golkar ini melanjutkan ketentuan pembinaan bela negara di dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pedoman Kesadaran Pembinaan Bela Negara mengatur program bela negara bersifat sukarela. Karena itu, pendidikan bela negara yang diterapkan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks pendidikan nasional yang menjamin hak siswa memperoleh pendidikan holistik dan berorientasi pada potensi.

“Kami menekankan pendidikan karakter berfokus pada penguatan kurikulum yang sudah ada, seperti pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan,” ujar dia.

Sebelumnya, Anggota Komisi X DPR Bonnie Triyana mengatakan perlu ada pertimbangan mendalam mengenai pengiriman siswa bermasalah ke barak militer. “Tidak semua problem harus diselesaikan oleh tentara, termasuk persoalan siswa bermasalah,” kata dia dalam keterangan tertulisnya pada Rabu, 30 April 2025.

Dia menuturkan pendidikan militer bukan cara yang tepat untuk menguatkan karakter siswa, khususnya anak bermasalah. “Penanganan siswa bermasalah harus dipahami secara holistik dengan menelaah keluarga, lingkungan pergaulan, dan aktivitas di sekolah,” ujar dia.

Menangani siswa bermasalah, kata dia, memerlukan pendekatan psikologis. “Melibatkan psikolog dan psikiater untuk menangani siswa bermasalah jauh lebih tepat ketimbang mengirim mereka ke barak militer,” tutur politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Bonnie mengingatkan setiap anak bermasalah memiliki karakter berbeda, termasuk latar belakang yang menyebabkan perilaku mereka menjadi bermasalah. “Jadi tidak bisa disamaratakan seperti itu,” ujar dia.

Dia menilai pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota hingga provinsi seharusnya memastikan keberadaan guru konseling di setiap sekolah. Guru-guru itu harus yang terlatih dalam mengatasi siswa bermasalah. Bonnie mengatakan para pemangku kepentingan perlu memperhatikan kebutuhan dasar anak didik, yakni kebutuhan untuk mendapatkan bimbingan dari tenaga pengajar.

Eka Yudha Saputra, Sultan Abdurrahman, Daniel Ahmad Fajri, Andi Adam Faturahman, Ervana Trikarinaputri, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Alasan DPR Bahas RUU Perampasan Aset setelah Revisi KUHAP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus