Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUNTUT pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla rupanya juga
mengibas Haji Ismail Pranoto (Hispran), bekas tokoh DI/TII dan
"Komando Jihad" yang pada 19 September 1978 dijatuhi hukuman
seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Sejak pembajakan
terjadi, ia harus pindah kamar di Lembaga Pemasyarakatan
Kalisosok. Semula ia ada di Blok D yang dikenal enak dan disebut
Blok Rumah Sakit ke Blok B II menempati sel persis di belah
kamar yang dulu ditempati Kusni Kasdut menjelang eksekusinya.
Di tempat yang baru ini Hispran yang agak pincang dan tetap
menggunakan alat pembantu pendengaran tidak bisa banyak
bergerak. Paling banter ia hanya bisa berjalanjalan di "halaman"
3 x 3 meter di depan selnya antara jam 7 sampai 10 pagi.
Selebihnya ia harus ada di kamarnya yang tempat tidurnya dari
beton. "Sejak dipindahkan itu ia tampak sedih," cerita seorang
petugas.
Hispran, 63 tahun, kembali membuat berita tatkala 26 Mei lalu ia
mengajukan grasi pada Presiden. Menurut pengacaranya, Pamoedji,
pengajuan grasi didasarkan antara lain atas penyesalan dan
pengakuan salah terhukum yang ikhlas menerima keputusan
pengadilan dan telah direnungkannya selama 3 tahun berada di LP
Kalisosok, Surabaya.
Mengapa baru sekarang diajukan? Tidakkah tenggang waktunya telah
lewat? "Waktu itu dia memang menyatakan naik banding, tapi saya
tidak bisa segera menyusun memori bandingnya karena salinan
keputusannya saja baru saya terima seminggu yang lalu," kata
Pamoedji pekan lalu.
Pamoedji yang mendapat surat kuasa dari Hispran tidak
menjelaskan apa yang mendorong kliennya mengajukan grasi.
"Pokoknya ada orang yang menyampaikan pada saya bahwa dia
kepingin ketemu saya. Setelah konsultasi, kami putuskan untuk
mengajukan grasi," ujarnya.
Daud Beureuh
Dalam pertemuan Menteri Agama dan Pangkopkamtib dengan para
ulama 20 April lalu nama Hispran juga banyak disebut. Menurut
penjelasan Menteri Agama di depan Komisi IX DPR 2 pekan lalu,
beberapa ulama waktu itu menanyakan proses pengadilan Hispran
yang dianggap belum tuntas benar karena ada saksi yang tidak
dibolehkan datang.
Dalam sidang itu, dua saksi: tokoh ulama Aceh Daud Beureuh dan
bekas tokoh DI/TII Danu Muhammad Hasan, gagal dihadapkan karena
sakit. Sedang 3 saksi a de charge yang diminta pembela: bekas
Waka Bakin Ali Moertopo, Kol. Pitut Suharto dan anggota DPR
Jusuf Hasjim ditolak Majelis.
Yang menarik, permohonan grasi itu ternyata tidak dibicarakan
Pamoedji dengan anggota tim pembela lainnya. "Saya tidak tahu.
Mendengar pun baru sekarang," kata pembela lainnya Abdullah
Thalib. Seingatnya, dalam sidang pengadilan dulu Hispran
menerima saja keputusan pengadilan dan tidak mengajukan banding.
Ada dugaan, pengajuan permohonan grasi Hispran "diatur". "Itu
semata-mata demi perikemanusiaan," kata Pamoedji yang mengelak
menjawab langsung. Diharapkannya Hispran bisa mendapat
keringanan hukuman menjadi 20 tahun yang kalau kelakuannya
selama ditahan baik bisa lebih pendek lagi masa hukumannya.
"Sebelum ada jawaban grasi, saya akan mengajukan permintaan agar
Hispran bisa dipindahkan ke penjara yang dekat keluarganya,
misalnya di Pekalongan," kata Pamoedji. Kabarnya seama di
penjara Hispran memang belum pernah dikunjungi keluarganya, tapi
sering menerima kiriman paket makanan dari istrinya yang tinggal
di Pekalongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo