Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK menyatakan permohonan PDI Perjuangan alias PDIP dalam sengketa pileg DPR RI di dapil Jawa Barat IV tidak dapat diterima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hal ini diungkapkan oleh Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan perkara nomor 52-01-03-12/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024. Dia menyebut, majelis hakim mengabulkan eksepsi atau keberatan dari KPU selaku termohon dan Partai Amanat Nasional (PAN) selaku pihak terkait soal permohonan pemohon kabur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Suhartoyo dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 Mei 2024.
Hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjelaskan posita alias dalil permohonan pemohon menyebutkan perhitungan suara yang benar menurut PDIP di Kabpaten Sukabumi. Berdasarkan formulir C-hasil, suara PDI Perjuangan adalah 113.426 suara.
"Namun dalam petitum angka tiga, pemohon meminta untuk menetapkan hasil perolehan suara pemilu anggota DPR RI 2024 dapil Jawa Barat IV yang benar berdasarkan C-hasil pemohon, dengan rincian suara PDIP berjumlah 111.426 suara, sedangkan PAN sebesar 106.848," ujar Daniel dalam sidang.
Pada petitum angka lima, kata dia, PDIP membuat tabel persandingan perhitungan suara. Menurut partai berlambang banteng ini, suara mereka seharusnya 113.426 suara. Sehingga ada perbedaan perhitungan suara antara posita, petitum angka tiga, dan petitum angka lima dalam permohonan PDIP.
"Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat memahami dengan pasti berapa jumlah perhitungan suara sebenarnya yang dimohonkan oleh pemohon sebagai dasar untuk menetapkan perolehan suara pemohon," ujar Daniel.
Terlebih, ujar hakim konstitusi ini, tidak ada data pendukung yang diajukan oleh PDIP untuk memperkuat dalil permohonannya. Oleh sebab itu, permohonan PDIP tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana Pasal 75 UU MK dan Pasal 11 ayat (2) huruf b angka 4 dan angka 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi atau PMK Nomor 2 tahun 2023.
"Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan pemohon kabur atau obscur," ucap Daniel.