Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Pakar Berberkan Potensi Masalah di Pilkada 2024

Peneliti senior Netgrit, Hadar Nafis Gumay, mengungkapkan sejumlah potensi masalah dalam pilkada 2024 serentak. Apa saja?

10 Mei 2024 | 08.10 WIB

Komisioner Komisi Pemilihan Umum Hadar Nafis Gumay dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah meninjau pemasangan Daftar Pemilih Tetap di Kelurahan Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat 23 Desember 2016. Tempo/ARKHELAUS
Perbesar
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Hadar Nafis Gumay dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah meninjau pemasangan Daftar Pemilih Tetap di Kelurahan Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat 23 Desember 2016. Tempo/ARKHELAUS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri sekaligus peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity alias Netgrit, Hadar Nafis Gumay, mengungkapkan sejumlah potensi masalah dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024, yang akan digelar serentak pada 27 November mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Saya kira persoalan-persoalan besar yang kemarin terjadi di pemilu kita sangat mungkin terjadi lagi di pilkada ini," kata Hadar saat dihubungi Tempo pada Kamis malam, 9 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menjelaskan, potensi masalah terjadi karena faktor penyelenggara pemilu. Seperti diketahui, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjelaskan ada tiga penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawasu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Menurut catatan saya, bagian dari persoalan pemilu kita yang lalu (pilpres) atau sampai hari ini sebetulnya masih berlangsung sengketa di Mahkamah Konstitusi (pileg) yaitu adalah problem dari penyelenggaranya sendiri," ujar Hadar.

Menurut dia, penyelenggara pemilu banyak melanggar aturan. Selain itu, klaim dia, ketiga penyelenggara pemilu tersebut tidak bekerja sesuai aturan dan tidak bekerja secara profesional.

"Orang akan terus mempertanyakan, kemarin mereka dianggap punya persoalan kok meneruskan kerja di pilkada? Jadi ya pilkadanya kan bisa juga menjadi persoalan," beber mantan Komisioner KPU ini.

Kedua, kemungkinan adanya calon tunggal. Meski calon tunggal diperbolehkan, Hadar menilai masyarakat tidak akan punya opsi atau pilihan calon lain dalam pilkada.

Dia menjelaskan masalah ini terjadi karena partai politik membutuhkan threshold atau ambang batas untuk mencalonkan calon kepala daerah. Sehingga partai-partai tersebut harus berkoalisi untuk memenuhi threshold tersebut. 

"Nah, seringkali mereka membangun koalisi besar," tutur Hadar. "Akhirnya yang tersisa tidak bisa lagi bikin pasangan calon dan tercipta pilkada dengan pasangan calon tunggal."

Ketiga, politik uang. Menurut Hadar, banyak ruang untuk melakukan politik uang dalam pilkada. Misalnya dalam proses pencalonan di mana seorang calon harus membayar biaya tertentu agar dicalonkan partai politik.

"Nah, itu proses yang kebanyakan terjadi selama ini. Walaupun dilarang, tapi tidak gampang memastikan itu tidak terjadi," ujar Hadar. 

Keempat, jual beli suara alias vote buying. Dia menjelaskan, praktik ini semakin biasa di mata masyarakat maupun peserta pemilu.

"(Dampaknya) kita akan punya kualitas pemimpin terpilih dengan model seperti itu. Jadi itu juga bisa menjadi persoalan besar." ucap dia.

Kelima, disinformasi alias penyebaran informasi salah yang dilakukan dengan sengaja. Apalagi, kata dia, masyarakat seringkali percaya dengan mudah berita-berita yang direkayasa tersebut. 

"Nah, itu yang akhirnya tidak sungguh-sungguh mencerminkan pilihan logis atau pilihan pintar dari masyarakat. Jadi masyarakat memilih berdasarkan informasi yang keliru," ujar Hadar.

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus