Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Tengah dilarang menggelar acara tahunan pertemuan itjima.
Opsi lain kegiatan bisa berlangsung, tapi dengan syarat label identitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia tidak dicantumkan.
Alasan lain karena menjelang Pemilu 2024.
JAWA TENGAH – Telepon seluler Dodik Setyawan berdering keras. Nada panggilan gawainya membisingi seisi ruang tamu di kediamannya bakda zuhur, Jumat pekan lalu. Ketua Panitia Majelis Ansharullah Jawa Tengah itu baru saja dihubungi Zaimah Hasanah, staf Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zaimah menyampaikan kabar bahwa permohonan izin kegiatan Majelis Ansharullah Ahmadiyah Jawa Tengah yang diajukan Dodik tidak dapat dilanjutkan untuk disetujui Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah Musta’in Ahmad. “Rekomendasi tidak dapat dilanjutkan dengan merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008,” ujar Dodik kepada Tempo, Jumat, 27 Oktober lalu.
Baca:
- Ahmadiyah tanpa Perlindungan Negara
- Korban Tindakan Intoleran Minim Perlindungan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodik menjelaskan, permohonan izin kegiatan diajukan kepada Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, serta Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah. Padahal, kata Dodik, ini hanyalah kegiatan seperti pada umumnya, berupa silaturahmi, donor darah, dan lomba kerohanian yang dilakukan bersama Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB).
Menurut Dodik, FKUB Jawa Tengah telah merekomendasikan agar kegiatan tersebut diberi izin pelaksanaan. Warkat FKUB Jawa Tengah Nomor 023/FKUB-JT/09/2023 menyebutkan kegiatan tersebut dinilai sebagai upaya untuk menguatkan silaturahmi kebangsaan hingga implementasi moderasi beragama.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia menggelar Jalsah Salanah (pertemuan tahunan) Nasional 2023. Dok. Ahmadiyah
Menurut rencana, Majelis Ansharullah Ahmadiyah Jawa Tengah bakal menggelar Pertemuan Tahunan Itjima Majelis Ansharullah Jawa Tengah. Acara itu disiapkan berlangsung di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, pada 17-19 November mendatang. Dalam proposal, panitia menyebutkan acara tersebut diklaim bakal diikuti 1.500-an anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Panitia kemudian meminta izin pelaksanaan, salah satunya, kepada Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah. Tapi, berdasarkan warkat resmi Nomor 20.036/Kw.11.7/2/BA.00/10/2023 tertanggal 20 Oktober 2023 yang diteken Musta’in Ahmad, Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah tidak dapat merekomendasikan untuk melanjutkan kegiatan Majelis Ansharul Ahmadiyah Jawa Tengah itu.
Dodik mengatakan panitia tetap tidak dapat berbuat apa-apa setelah adanya surat tersebut. Menurut dia, rekomendasi dari FKUB Jawa Tengah dan penjelasan rinci mengenai kegiatan tidak membuat hasil rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah setempat berubah. Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah tetap berpegang pada SKB 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang perintah dan peringatan keras kepada penganut, anggota, dan pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). “Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang aliran Ahmadiyah juga mendasari keputusan menolak rekomendasi kegiatan,” ucap Dodik.
Mubalig JAI Jawa Tengah Maulana Saefullah Ahmad Farouk mengatakan panitia telah mengajukan permohonan izin pada dua bulan sebelum waktu penyelenggaraan kegiatan. Menurut dia, proposal dan rangkaian serta jadwal lengkap kegiatan juga sudah diberikan semuanya. Namun Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah tetap tidak dapat melanjutkan rekomendasi kegiatan. “Selain SKB 3 Menteri, alasan lainnya adalah situasi politik menjelang pemilihan presiden 2024.”
Maulana mencoba memahami alasan yang disampaikan Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah. Sebagai warga negara, dia dan JAI mencoba mematuhi hasil keputusan pemerintah, meski pada kenyataannya hubungan antar-umat beragama di wilayah Jawa Tengah adem ayem saja. “Selama ini kami tidak pernah berselisih paham dengan umat beragama lainnya,” ujarnya.
JAI, Maulana melanjutkan, berharap kegiatan ini dapat dilangsungkan pada tahun berikutnya mengingat pesta elektoral sudah rampung digelar pada Februari 2024. “Jadi, kalau ditolak saat ini, kami coba legowo saja.”
Maulana mengungkapkan, Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah sebelumnya menawarkan opsi lain terhadap acara tersebut. Menurut dia, rekomendasi dapat diberikan dan acara dapat dilanjutkan, tapi dengan syarat label identitas JAI tidak dicantumkan dalam kegiatan tersebut. “Kami tidak mau. Kami lebih memilih dan berharap agar ini bisa dilaksanakan pada tahun depan saja,” ujarnya.
Tempo belum mendapat konfirmasi dan tanggapan perihal penolakan acara tersebut. Musta’in Ahmad, melalui stafnya, Zaimah Hasanah, belum merespons pertanyaan yang dikirimkan Tempo ke nomor telepon selulernya hingga berita ini ditulis. Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Stefanus Satake Bayu bersikap setali tiga uang.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia menggelar Jalsah Salanah (pertemuan tahunan) Nasional 2023. Dok. Ahmadiyah
Ahmadiyah Bukan Organisasi yang Dilarang Undang-Undang
Menanggapi hal tersebut, Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan pelarangan kegiatan JAI di Jawa Tengah tidak hanya menunjukkan bagaimana paranoia negara terhadap minoritas kelompok beragama. Larangan tersebut, menurut Halili, juga melanggengkan diskriminasi yang tiada berujung.
“Ini juga malah memberikan ruang bagi kelompok konservatif dan intoleran untuk menjadikan isu minoritas sebagai bagian dari konsolidasi mereka,” kata Halili saat dihubungi dalam kesempatan terpisah, kemarin. Pun dengan dalih stabilitas dan kondisi politik menjelang pemilihan presiden 2024, kata dia, hal tersebut tidak memiliki kausalitas dengan kegiatan kelompok beragama.
Pelarangan ini, menurut Halili, merupakan upaya untuk terus mendiskriminasi kelompok minoritas dengan melegitimasi regulasi yang pada hakikatnya berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945. “JAI bukan organisasi yang dilarang oleh undang-undang. Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau MUI yang menilai mereka menyimpang,” ujarnya.
Halili menegaskan MUI bukanlah lembaga negara. Jadi, sudah sepatutnya pemerintah kembali mematuhi aturan bernegara, yaitu patuh pada konstitusi. “Apalagi masyarakat di Jawa Tengah setahu saya menyadari betul akan kebinekaan. Mereka progresif.”
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy mengatakan, alih-alih melarang kegiatan umat beragama, pemerintah setempat semestinya memberikan ruang dan memfasilitasi kegiatan yang ditujukan untuk merawat moderasi beragama. “Lagi pula, kegiatan itu dijamin oleh undang-undang,” ujarnya.
Kontras, kata dia, juga mendesak pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat, dapat menjamin kebebasan pada kelompok agama mana pun. Rezaldy meminta pemerintah dapat bersinergi, khususnya menjalankan norma dan regulasi berdasarkan prinsip hak asasi manusia. “Kebijakan itu nantinya mesti diimplementasikan di tingkat lokal dan pusat, baik yang tertulis maupun dalam bentuk diskresi,” katanya.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo