Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bantul -Ketua Paguyuban Padma Buwana yang beragama Hindu, Utiek Suprapti menyebutkan penolakan upacara memperingati wafatnya Ki Ageng Mangir, tokoh yang berseberangan dengan kerajaan Mataram di Kecamatan Pajangan, Bantul pada Selasa, 12 November bukan kali pertama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Utiek menyebut kegiatan itu sebagai piodalan, yakni upacara yang berakar dari tradisi Hindu Bali yang berlangsung setiap tahun satu kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 2012, penolakan juga terjadi. Bahkan, Utiek mengaku pernah mendapatkan penolakan dari kelompok organisasi masyarakat tertentu. “Kami dianggap menyembah berhala. Yang menolak orang-orang yang sama,” kata Utiek di rumahnya di Dusun Mangir Lor, Desa Mangir, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta, Selasa, 12 November 2019.
Di dusun itu, Utiek merupakan warga minoritas beragama Hindu yang tinggal di sana sejak1998. Dia merupakan keturunan Ki Ageng Mangir dengan gelar Pemangku Candi Mahalingga Padma Buana atau pemimpin spiritual tertinggi. Rumah Utiek seringkali menjadi tujuan umat Hindu dari Bali untuk berziarah ke leluhurnya. Selain itu, tamu dari Jepang juga pernah singgah ke rumah Utiek untuk belajar spiritualitas.
Selasa sore, 12 November, tamu lintas agama yang datang dari berbagai daerah berkumpul I rumah Utiek untuk memperingati wafatnya Ki Ageng Mangir. Mereka datang dari Kediri, Ngawi, Jakarta, Jambi, dan Kepulauan Talaut, Sulawesi Utara.
Tamu-tamu itu di antaranya beragama Hindu, Buddha, dan Katolik. Perwakilan dari Jambi misalnya bergelar Dirajo Maharajo. “Kami semua bersaudara dan menghormati leluhur,” kata Utiek.
Pukul 14.00 berlangsung prosesi upacara yang dipimpin Padma Wiradharma, Pandita Budha Tantrayana Kasogatan untuk menghormati alam semesta seisinya, seperti bumi, air, tanah, udara, matahari, bulan.
Sajian upacara leluhur Ki Ageng Mangir lintas agama di Kecamatan Pajangan, Bantul (TEMPO/Shinta Maharani)
Setelah itu, seharusnya berlangsung upacara Hindu, yang dipimpin Ida Begawan Manuaba. Lalu dipimpin perwakilan Sunda Wiwitan, Kerinci Kuno, dan Talaut. Tapi, upacara terhenti dan baru sampai pada Pandita Buddha Tantrayana Kasogatan.
Satu jam setelah prosesi upacara beralangsung, puluhan polisi dan warga dusun setempat mendatangi acara itu. Setidaknya sepuluh warga Dusun Mangir Lor berteriak meminta agar peserta menghentikan upacara tersebut pukul 15.30. “Saya trauma. Mangir yang dikenal sebagai desa wisata spiritual tidak aman,” kata Padma Wiradharma.
Sehari sebelum upacara itu berlangsung, Kapolsek Pajangan memanggil Utiek ke kantor polisi setempat untuk memberikan pejelasan tentang acara tersebut. Kepada Utiek, Kapolsek Pajangan meminta Utiek membatalkan acara tersebut karena sejumlah warga keberatan. Alasannya kegiatan tersebut tidak berizin.
Utiek bersama kerabatnya tetap menggelar upacara tersebut sebagai hak untuk menjalankan ibadah menghormati leluhurnya. Utiek menunjukkan surat pemberitahuan adannya upacara tersebut yang ditandatangani Ketua RT 2 dusun tersebut, Subani dan sejumlah penduduk dusun tersebut.
Kepala Polisi Resor Bantul Ajun Komisaris Besar Polisi Wachyu Tri Budi Sulistiyono membantah polisi menghentikan upacara tersebut. Polisi menurut dia datang ke lokasi untuk mengamankan agar tidak terjadi konflik.
Sebagian warga dusun tersebut keberatan dan mempertanyakan izin acara tersebut. “Polisi tidak menghentikan. Kami hanya minta upacara dipercepat karena rawan konflik,” kata Wachyu.
Ia menampik pembubaran upacara itu karena campur tangan dari organisasi masyarakat tertentu yang selama ini kerap melakukan aksi intoleransi di Kabupaten Bantul. Dia juga menyatakan akan mengundang Forum Kerukunan Umat Beragama, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengecek status Paguyuban Padma Buwana. “Jangan-jangan ada penyimpangan agama atau kepercayaan,” kata Wachyu.