Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIPLAK-menjiplak karya ilmiah di perguruan tinggi Indonesia, sepanjang sepuluh tahun terakhir ini, menggelinding sentosa. Kalau di "sono" (lihat Menabok Penjiplak), menjiplak karya bisa kena tabok, di Indonesia -- yang terkenal memegang teguh asas musyawarah -- bisa mendatangkan untung dan pelakunya tenang. Undang-Undang Hak Cipta hanya jadi penonton gagu. Bukan hanya mahasiswa nyontek mahasiswa, dan dosen mencuri milik dosen lain, tapi juga dosen nyopet karya mahasiswanya. Yang aib besar, ada dosen tak bermalu lagi, terang-terangan meminta agar mahasiswanya membuatkan karya untuk kepentingan dan atas nama sang suhu. Sedih memang. Apalagi mengingat bahwa kebanyakan skandal itu dilakukan sekadar untuk memburu kenaikan pangkat. Belakangan ini, permainan itu berkobar santer di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Tapi, seperti diungkapkan tadi, berlangsung aman. Tak ada gejolak, tidak ada masalah, semua tetap diselesaikan secara musyawarah. Kita memang jenis manusia yang suka damai. Prof. Dr. Moh. Koesnoe, bekas guru besar Unair, meratapi keadaan yang sudah demikian menyedihkan itu. "Saya lihat sudah kian menjadi tradisi," katanya. Ia sendiri tak urung jadi pecundang. Beberapa buah karyanya dipakai orang. Ia mencoba main tabok lewat pengadilan, tapi terhenti. Yang dituduhnya menjiplak kini hidup tenang-tenang saja. Terakhir ini dr. I.A. Ferdinandus, Kepala Seksi Histologi, Laboratorium Anatomi dan Histologi di Fakultas Kedokteran Unair, diisukan menjiplak skripsi I Ketut Puja, mahasiswanya sendiri. Tapi Ferdinandus membantah keras. Kebetulan Ferdinandus juga Kepala Laboratorium Histologi Kedokteran Hewan Unair, tempat Ketut Puja, yang ia bimbing itu, melakukan penelitian. Tahun lalu Ketut Puja melakukan penelitian tentang "Pengaruh Tepung Biji Lamtoro Gung terhadap Histologi Kelenjar Pankreas Ayam Pedaging. Rupanya, sebagai pembimbing, Ferdinandus tergugah untuk meneliti pula. Kebetulan ia terdesak untuk melakukan penelitian, sebagai syarat kenaikan pangkat. Lalu dibuatlah kesepakatan. Puja meneliti eksokrin pankreas, dan Ferdinandus mencari endokrinnya. Nah, di lapangan, "Yang menyiapkan makannya dia (Ketut Puja), tapi yang menyediakan sampai membuat sediaan ini saya," kata Ferdinandus. Jadi, jelas berbeda. Pengukurannya tidak sama, dan jalannya pun lain. Kemudian Ferdinandus menyusun makalah tentang Perubahan Kelenjar Eksokrin Pankreas Ayam Setelah Pemberian Tepung Biji Lamtoro Gung. Karya ini kemudian dipresentasikan di depan Kongres Anatomi di Bandung, tahun 1987. Berangkat dari soal itulah isu plagiat muncul dan menyebar dengan cepat seperti kutu loncat. "Kan itu tidak benar," katanya mengeluh. "Tapi, ya, begitulah kalau orang ingin menjatuhkan," tambahnya. Akhirnya, daripada rame-rame, "Saya tarik sajalah makalah saya," kata Ferdinandus. Ia tak jadi mengajukannya sebagai syarat kenaikan pangkat agar beroleh profesor. Tapi kali ini Ferdinandus kian menyesali diri, isu yang berkembang jadi lain. Ada yang beranggapan bahwa penarikan paper itu karena berindikasi penjiplakan. Fedinandus terpaksa melakukan langkah-langkah penyelamatan. "Soalnya, ini menyangkut nama baik saya," katanya. Ia minta keterangan tertulis dari Ketut Puja dan pembimbing Dr. Sarmanu M.S., yang menyebutkan bahwa karya Ferdinandus bukan plagiat. Dan Ketut Puja, memang, dalam suratnya menyebut bahwa masalah itu sesuai dengan kesepakatan bersama. Merupakan kegiatan ilmiah bersama, dan bukan penjiplakan. "It's all in the game," kata Ferdinandus. "Dan untuk itu, saya kira, saya sudah bermain dengan baik, dengan jujur." Di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, juga ada guru memakai mahasiswa. Seorang dosen eksakta -- sebut saja Pinter Nimpe -- terus terang meminta kepada mahasiswanya, Pandir Kebo -- juga nama samaran -- agar membuat buku diktat dasar. Merasa tertarik dan berharap memperoleh "imbalan uang", si Pandir pun lantas bergelut keringat dan tidak tidur selama tiga minggu. Ia berhasil menyusun diktat sepanjang 200 halaman yang laku keras. Tapi, di luar perkiraannya, nama pengarangnya tersebut: Pinter Nimpe. Lebih tragis lagi, si Kebo tak kebagian duit. "Bah, mulanya kesal pulalah aku," kata Kebo berang. Tapi setelah dipikir-pikir, "Dia bekas pembimbingku, dan ia membutuhkan itu untuk naik pangkat. Yah, tak apalah," ujarnya mengurut dada -- rupanya ia juga cinta damai. Celakanya, si Pinter Nimpe pun tak merasa bersalah. "Orang, si Kebo itu bekas bimbingan aku," katanya. Agus Basri, Wahyu Muryadi, dan Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo