Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis (TBC) Indonesia, Khoirul Anas, mengatakan, pasien TB mengalami siklus panjang dalam pengobatan. Siklus itu mulai dari proses diagnosa, akses kelayakan, tahapan pengobatan, hingga rehabilitasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiap tahapan itu terdapat hambatan sehingga target eliminasi TB di 2030 sulit diwujudkan. "Salah satu hambatannya faktor ekonomi," kata Khoirul dalam Peluncuran Pedoman Mitra Penanggulangan TBC di Gedung Kemenkop PMK, Rabu 3 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khoirul mengatakan, banyak pasien TB yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Karena itu, mereka takut berobat. "Takut bayar mahal. Jadi meski sudah sakit berat, tidak berobat," kata Khoirul.
Belum lagi, pasien TB saat proses pengobatan mendapatkan efek samping berat. Efek samping itu berbeda-beda. Banyak kasus, pasien TB yang tak melanjutkan berobat karena tak kuat menghadapi efek itu.
Wakil Sekretaris I Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Aldila S. Al Arfah mengatakan, pasien tuberkulosis (TBC) sebagian besar berasal dari kalangan menengah bawah. Mereka mengidap penyakit tersebut karena gizi buruk hingga kondisi lingkungan tidak baik seperti tinggal di perumahan padat.
"Faktor ekonomi masalahnya," kata Aldila.
Pasien dari kalangan menengah bawah tersebut juga mengalami kesulitan ketika sedang menjalani pengobatan. Pengobatan TB membutuhkan waktu berbulan-bulan. Di masa itu, pasien diperkenankan untuk beristirahat. Namun, karena tuntutan ekonomi, banyak pasien yang memutuskan berhenti menjalani pengobatan. "Penghasilan harian. Maka ketika sedang berobat, ia harus bekerja. Jadinya bisa tak minum obat," ujar Aldila.
Untuk itu, Aldila mengatakan, pasien yang mengalami masalah itu bisa dibantu dengan program pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan bisa melihat potensi pasien. Misalnya, pasien memiliki potensi kerajinan tangan. Dari situ, rumah sakit atau pendamping bisa memfasilitasi membuat bazar sehingga pasien mendapatkan pendapatan. "Jadi ekonomi tidak terganggu," ujarnya.
Anggota Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, Yulia Tri Haryanti, IPK mengatakan, kebutuhan pasien TB bukan hanya obat, melainkan masalah fisik, psikososial, dan finansial. Pasien membutuhkan pendampingan psikologis supaya tidak depresi ketika menjalani pengobatan. "Kalau tak didampingi bisa memperberat penyakit pasien," ujar Yulia
Pendampingan itu bisa dilakukan oleh komunitas atau tenaga kesehatan. Pendampingan bertujuan untuk memberikan motivasi kepada pasien untuk bisa sembuh dengan kesadaran sendiri. Dengan begitu, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Dalam hal ini, pihaknya sudah membuat kurikulum modul psikososial. Modul ini diharapkan bisa memberikan pelayanan kepada pasien.
Pilihan editor: Jokowi Kunjungan Kerja ke Jambi untuk Cek Pasar dan RSUD