Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEJAK utak-atik suara di Mahkamah Konstitusi tertinggal dalam putusan sengketa pemilihan kepala daerah Palembang. Diketuk pada 20 Mei 2013, putusan ini membalikkan hasil pemilihan pada 7 April yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah. Panel hakim yang diketuai Akil Mochtar memenangkan duet Romi Herton-Hernojoyo, yang dinyatakan kalah dalam pemungutan suara.
Suara untuk duet Romi-Hernojoyo bertambah empat, dari 316.915 menjadi 316.919. Sedangkan suara pesaing mereka, Sarimuda-Nelly Rasdiana, yang semula dinyatakan menang, berkurang 27 menjadi 316.896. Dari kalah 8 suara, Romi-Hernojoyo berbalik unggul 23 suara. Ini membuat Sarimuda meradang. Ia menuding Akil, Ketua Mahkamah Konstitusi, mengutak-atik suara dengan memalsukan bukti. "Lihat saja putusannya," kata Sarimuda, Jumat dua pekan lalu.
Dalam putusan Mahkamah, pengurangan suara Sarimuda-Nelly paling besar terjadi di Tempat Pemungutan Suara 03 Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami. Dari semula 182 suara, berkurang jadi 162. Anehnya, dalam putusan itu ada kutipan: "Penghitungan ulang surat suara oleh Mahkamah juga menunjukkan bahwa pasangan calon nomor urut 3 memperoleh 182 suara." Sarimuda-Nelly adalah pasangan nomor urut 3 pada saat pemilihan.
Menurut Sarimuda, kekeliruan kecil itu menunjukkan bahwa memang benar dia meraup 182 suara di TPS 03 sesuai dengan yang tertera di formulir C1-KWK—atau rincian surat suara sah—yang ia ajukan sebagai bukti di Mahkamah. Versi C1-KWK yang disodorkan Romi Herton menyebut Sarimuda memperoleh 162 suara—berlawanan dengan hasil penghitungan suara ulang oleh Mahkamah sendiri. Anehnya, MK malah menerima bukti kubu Romi Herton dan menolak hasil penghitungannya sendiri.
Bukti yang dipakai Akil diduga merupakan hasil manipulasi. Pelakunya orang yang diduga menjadi penghubung Akil dengan "klien" sekaligus penyedia bukti persidangan: Muhtar Ependy. Pengusaha konfeksi dan alat peraga kampanye pemilihan umum yang berkantor di Cibinong, Bogor, ini beraksi ketika sengketa pemilihan kepala daerah Palembang bergulir di Mahkamah.
Keponakan Muhtar sekaligus sopirnya, Mico Fanji Tirtayasa, bercerita bagaimana ia disuruh Muhtar menghadiri setiap sidang sengketa hasil pemilihan Wali Kota Palembang dan merekamnya. "Saya tahu jadwal sidang di Mahkamah dari petugas keamanan," ucap Mico, Sabtu dua pekan lalu. Lain waktu, Muhtar juga menonton sidang. Tapi mereka tak saling sapa. "Kalau di MK, pura-pura tidak kenal saja," ujar Mico, menirukan Muhtar.
Bahan yang diperoleh di Mahkamah dibawa ke kantor PT Promic International, perusahaan Muhtar di Cibinong. Muhtar meminta Mico mengubah isi formulir C1-KWK dari Komisi Pemilihan dan Panitia Pengawas Pemilu. "Saya corat-coret dan ubah angkanya," tuturnya. Dokumen yang telah dimodifikasi itu kemudian dipindai dan dicetak. Pekerjaan memindai dan mencetak, kata Mico, dilakukan oleh Nugroho, desainer grafis perusahaan Muhtar.
Menurut Muhtar kepada Mico, Romi Herton bersedia membayar Rp 10-25 miliar asalkan menang di MK. Suatu hari Muhtar bercerita kepada Mico bahwa dia baru pulang dari Bandar Udara Soekarno-Hatta menemui utusan Romi Herton. Tujuannya: mengambil duit ongkos mengurus perkara. Dari bandara, Muhtar langsung meluncur ke rumah dinas Akil Mochtar di Kompleks Widya Chandra, Jakarta, membawa duit yang disebut sebagai "paket ikan".
Duit tak seluruhnya diserahkan kepada Akil. Pada Mei lalu, Muhtar meminta Mico menawar sebuah rumah di Bendungan Jago, Kemayoran, untuk istri tuanya. Harganya Rp 1,7 miliar. Rumah kemudian dibeli dengan uang muka Rp 200 juta. Sisanya dilunasi lewat transfer dari rekening di Bank Kalbar. Menurut Muhtar kepada Mico, uang untuk membeli rumah berasal dari Romi Herton.
Tak hanya membeli rumah, Muhtar pun membeli 30 sepeda motor seharga Rp 140 juta dari pelelangan dengan diatasnamakan Mamat Surahmat, juga anak buahnya. Selain bergerak di bidang konfeksi, Muhtar membuka showroom mobil dan sepeda motor. Menurut Mico, uang untuk membeli sepeda motor itu pun berasal dari pembayaran Romi.
Menyediakan jasa mengurus perkara, Muhtar juga mempromosikan jualannya yang lain. Ia menawarkan suvenir pelantikan Romi Herton. Barang itu di antaranya kipas, cangkir, tas belanja, kurma, sarung, dan kalender. Pesanan dari Romi Herton lewat istrinya datang sebelum Mahkamah membacakan putusan yang menganulir kemenangan Sarimuda pada 20 Mei 2013. Artinya, Romi sudah mengetahui hasil sidang Mahkamah dari Muhtar sebelum putusan dibacakan.
Pada akhir Mei, Romi melunasi pembayaran suvenir senilai Rp 500 juta. Mico ikut mengantar orderan ke rumah dinas Romi Herton, Wakil Wali Kota Palembang 2008-2013. Ia ingat pesanan kurang satu buah karena karyawan Muhtar salah menghitung. "Akibatnya, sopir truk sempat ditahan anggota Satpol PP di rumah Romi," kata pria 35 tahun ini.
Muhtar Ependy menyanggah disebut sebagai penghubung Akil dengan Romi Herton. "Demi Allah, demi Rasulullah, kenal pun tidak," ujarnya di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin pekan lalu. Ketika ditanya lagi apakah betul dia tak kenal satu pun kepala daerah, Muhtar menjawab, "Saya usaha di bidang atribut kampanye, jadi semua gubernur dan bupati di seluruh Indonesia, alhamdulillah, kenal saya."
Kurir Romi Herton yang ditemui Muhtar di Bandara Soekarno-Hatta tadi diketahui Mico belakangan. Muhtar juga yang membuka identitasnya pada kesempatan lain, setelah sengketa pemilihan kepala daerah Palembang berlalu. Menurut cerita Muhtar, nama utusan itu Ucok Hidayat, Sekretaris Daerah Kota Palembang.
Ini sesuai dengan catatan petugas Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, pada 10 Mei 2013—ketika kasus Palembang bergulir di Mahkamah. Dalam catatan itu disebutkan Ucok Hidayat terdeteksi membawa uang Rp 8 miliar ketika melewati pemindai pintu masuk terminal. Uang disimpan dalam tiga koper.
Petugas bandara kemudian mencegatnya. Ucok bisa melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan alasan uang itu akan digunakan "untuk membayar alat berat"—seperti tertulis di catatan petugas bandara. Laporan itu diteken tiga petugas, yaitu Susilo, Herman, dan A. Muchtar.
Sebagaimana terekam di manifes perjalanannya, Ucok serta anak buahnya, yaitu Isnaini Madani, Diankis Julianto, Alex Ferdinandus, Irwan Isbandi, Aditya, Mikha Maxiguna, Mohamad, dan Yopi, akhirnya terbang ke Jakarta menumpang Garuda Indonesia GA-0121. Ucok duduk di kelas bisnis nomor 01B. Yopi di sampingnya. Adapun Isnaini dan rekan-rekannya duduk di nomor 2A-3F.Â
Romi Herton, kini Wali Kota Palembang, mengatakan proses sidang di Mahkamah sudah sesuai dengan aturan. Ia menyatakan tak menyogok Akil lewat Muhtar Ependy. "Semua bukti sudah saya serahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi," ujarnya Kamis pekan lalu. Ihwal tuduhan bekas rivalnya, Sarimuda, ia mengatakan, "Orang kalah pasti ngomongnya ngaco." Pengacara Akil Mochtar, Tamsil Sjoekoer, mengatakan kliennya tak pernah bercerita soal Muhtar Ependy. "Nanti saya tanyakan," ucapnya.
Ucok Hidayat pada Kamis pekan lalu membantah pernah mengantarkan Rp 8 miliar kepada Muhtar Ependy. "Tidak pernah sama sekali." Ia irit bicara dengan alasan sudah memberikan keterangan serupa kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Ucok anak buah Romi Herton sejak dulu. Ia menjadi sekretaris daerah pada zaman Romi menjabat Wakil Wali Kota Palembang. "Pak Romi bicara apa, saya juga sama seperti itu," kata Ucok.
Anton Septian, Linda Trianita, Rusman Paraqbueq (Jakarta), Parliza Hendrawan (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo