Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menyatakan akan membentuk partai politik yang lahir dari kaum buruh. Hal itu mengemuka dalam Kongres dan Musyawarah Nasional (Munas) V FSPMI yang digelar di Surabaya.
“Ada tiga tahapan, yakni pendidikan mengenai kewarganegaraan atau citizen education, pengorganisasian massa, baru pendirian parpol,” kata Presiden FSPMI periode 2016-2021, Said Iqbal, saat ditemui Tempo di sela acara penutupan, Rabu, 10 Februari 2016.
Ketiga tahapan itu, kata Said, dibutuhkan agar serikat buruh memiliki kekuatan politik. Hal itu penting untuk mengawal isu-isu kepentingan buruh dan masyarakat luas. Ia menyebutkan, di negara-negara maju, serikat buruh selalu berkorelasi dengan blok partai politik. Terutama saat membahas perundang-undangan mengenai upah, sistem kerja, hingga jaminan sosial.
Namun ia menyatakan, FSPMI tak akan langsung mendaftarkan diri sebagai partai politik. Said mengklaim, pihaknya mengusung slogan independent but not netral. Artinya, serikat buruh menolak untuk menjadi kepanjangan tangan partai politik sekarang yang dianggap belum berpihak kepada buruh. “Jadi, ketika ada pemilihan umum, suara buruh akan disatukan untuk memilih partai politik alternatif.”
Said menjelaskan, langkah kongkret pendidikan politik para buruh akan dilakukan setelah penyelenggaraan Kongres Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pada 2017. Ia pun tak menampik kemungkinan partai buruh itu maju pada pemilihan umum presiden tahun 2019. “Kalau pendidikan politiknya jalan, bisa segera menggabungkan massa elemen buruh dan masyarakat lainnya. Bergantung kesiapan saat pengorganisasian massa.”
Pembentukan partai politik buruh dianggap mendesak karena saat ini tak ada partai politik yang benar-benar bisa mewadahi aspirasi mereka. "Kami sadar bahwa kebijakan pemerintah selama ini--mulai upah dan jaminan sosial--ditentukan oleh elite politik," kata Sekretaris FSPMI DPW Jawa Timur Jazuli.
Sebaliknya, saat Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 yang dinilai merugikan buruh, elite partai politik tak berani menyuarakan. Menurut Jazuli, mereka tak berpihak karena tak lahir langsung dari rahim kaum buruh.
FSPMI mengklaim, pembentukan partai politik buruh tersebut mendapat dukungan dari banyak pihak. Sedikitnya 230 ribu anggota buruh dari seluruh serikat pekerja di Indonesia sudah mendorong adanya partai politik sejak rapat pimpinan nasional tiga tahun terakhir. "Sudah saatnya buruh bersuara, karena kami tiga tahun belakangan ini tidak hanya peduli soal isu-isu buruh, tapi isu-isu publik seperti kesehatan dan pendidikan." Terlebih, kata Jazuli, lebih dari 40 persen rakyat Indonesia merupakan kalangan buruh formal.
ARTIKA RACHMI FARMITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini