Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Setahun Jokowi-Ma'ruf; Demokrasi Dianggap Resesi, Oligarki Terkonsolidasi

Setahun Jokowi-Ma'ruf dinilai terjadi penyusutan ruang sipil, peningkatan budaya kekerasan, pelibatan aparat keamanan dan pertahanan di urusan sipil.

20 Oktober 2020 | 10.35 WIB

Presiden Joko Widodo alias Jokowi (kiri) didampingi oleh wakil presiden Ma'ruf Amin saat memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin 16 Desember 2019. Rapat ini membahas persiapan pemindahan ibu kota. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Presiden Joko Widodo alias Jokowi (kiri) didampingi oleh wakil presiden Ma'ruf Amin saat memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin 16 Desember 2019. Rapat ini membahas persiapan pemindahan ibu kota. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai kehidupan berdemokrasi semakin mundur di tahun pertama kepemimpinan Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Tokoh-tokoh yang kritis banyak yang dilaporkan dan ditangkap. Demokrasi mengalami kemunduran. Dan yang terkonsolidasi itu bukan demokrasi, tapi oligarki dan politik dinasti," ujar Ujang, Selasa, 20 Oktober 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai Indonesia sedang mengalami resesi demokrasi di bawah kepemimpinan Jokowi. "Tidak hanya resesi ekonomi, resesi demokrasi pun terjadi di Indonesia," ujar Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.

Hal ini, lanjut dia, ditandai penyusutan ruang sipil, peningkatan budaya kekerasan, pengabaian agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, pelibatan aparat keamanan dan pertahanan pada urusan sipil, serta minimnya partisipasi publik dalam implementasi proses demokrasi yang substansial.

Peneliti dari Kontras, Rivanlee Anandar, mengatakan, dari aspek penyusutan ruang sipil, lembaganya mencatat ada 157 peristiwa pelanggaran demokrasi dalam satu tahun terakhir. Pelanggaran paling banyak adalah pembatasan hak berkumpul, yakni 93 peristiwa, pembatasan hak berekspresi sebanyak 60 peristiwa, dan serangan terhadap kebebasan sipil sebanyak 4 peristiwa. Metode serangan dilakukan lewat peretasan, intimidasi, doxing, dan penyiksaan di ruang cyber.

Serangan terhadap kebebasan berekspresi mulai terlihat saat masyarakat menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang disahkan pada tahun lalu. Saat itu, sejumlah aktivis antikorupsi dan akademikus yang menolak revisi UU KPK mengalami peretasan dan intimidasi.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian, mengklaim selama ini pemerintah menjamin kebebasan berekspresi dengan catatan tidak merugikan orang lain. Pemerintah, kata dia, selama ini sudah memberi ruang terhadap suara kritik masyarakat.

Namun, ketika kritik itu disampaikan secara destruktif akan menjadi urusan aparat penegak hukum. “Sama sekali ini bukan persoalan upaya pemerintah dalam membungkam suara kritis. Tentu saja ada hukum yang ditegakkan," kata Donny. "Tidak bisa demokrasi berjalan tanpa hukum."

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus