Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Setara Institute berpendapat praktik intoleransi yang marak terjadi di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi karena pemimpin lokal tidak punya kekuatan dan ketegasan dalam membela kelompok minoritas. “Ketidaktegasan itu menjadi preseden buruk sehingga praktek intoleransi kembali terulang ,” kata Direktur Riset Setara, Halili, Kamis, 14 November 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo menghimpun berbagai peristiwa intoleransi yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam lima tahun terakhir. Hasilnya, paling banyak serangan terhadap keberagaman terjadi di Bantul. Sepanjang 2019 setidaknya terjadi tiga kasus intoleransi di kabupaten itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teranyar, polisi dan warga Dusun Mangir Lor membubarkan upacara leluhur Ki Ageng Mangir di Kecamatan Pajangan. Pada Juli, warga menolak Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu. Bupati Bantul Suharsono mencabut Izin Mendirikan Bangunan gereja tersebut.
Kemudian, ada juga Slamet Jumiarto, seorang pelukis di Yogyakarta yang ditolak mengontrak di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, pada April. Alasannya, Slamet merupakan seorang penganut Katolik.
Halili menjelaskan Bantul sebagai daerah yang menjaga tradisionalisme. Tapi, tradisionalisme itu memiliki penyakit bawaan yakni primordialisme atau kedaerahan.
Selain itu, Halili melihat ada kecenderungan klientisme atau penguasaan sumber daya pada segelintir elite atau patron untuk ditukarkan dengan loyalitas politik klien. Warga mengikuti apa yang disampaikan tokoh berpengaruh. Contohnya perangkat desa, mulai dari ketua RT hingga camat yang menggunakan kekuasaannya untuk menyerang keberagaman.