Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Setara Institute Paparkan Alasan Intoleransi di Bantul Tinggi

Setara Institute melihat ada beberapa penyebab intoleransi di Bantul tinggi. Salah satunya soal primodialisme.

15 November 2019 | 07.32 WIB

Pelukis beragama Katolik, Slamet Jumiarto di rumah kontrakan Dusun Karet, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Slamet ditolak masuk kampung Dusun Karet karena beragama Katolik. TEMPO/Shinta Maharani
Perbesar
Pelukis beragama Katolik, Slamet Jumiarto di rumah kontrakan Dusun Karet, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Slamet ditolak masuk kampung Dusun Karet karena beragama Katolik. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Setara Institute berpendapat praktik intoleransi yang marak terjadi di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi karena pemimpin lokal tidak punya kekuatan dan ketegasan dalam membela kelompok minoritas. “Ketidaktegasan itu menjadi preseden buruk sehingga praktek intoleransi kembali terulang ,” kata Direktur Riset Setara, Halili, Kamis, 14 November 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Tempo menghimpun berbagai peristiwa intoleransi yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam lima tahun terakhir. Hasilnya, paling banyak serangan terhadap keberagaman terjadi di Bantul. Sepanjang 2019 setidaknya terjadi tiga kasus intoleransi di kabupaten itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teranyar, polisi dan warga Dusun Mangir Lor membubarkan upacara leluhur Ki Ageng Mangir di Kecamatan Pajangan. Pada Juli, warga menolak Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu. Bupati Bantul Suharsono mencabut Izin Mendirikan Bangunan gereja tersebut.

Kemudian, ada juga Slamet Jumiarto, seorang pelukis di Yogyakarta yang ditolak mengontrak di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, pada April. Alasannya, Slamet merupakan seorang penganut Katolik.

Halili menjelaskan Bantul sebagai daerah yang menjaga tradisionalisme. Tapi, tradisionalisme itu memiliki penyakit bawaan yakni primordialisme atau kedaerahan.

Selain itu, Halili melihat ada kecenderungan klientisme atau penguasaan sumber daya pada segelintir elite atau patron untuk ditukarkan dengan loyalitas politik klien. Warga mengikuti apa yang disampaikan tokoh berpengaruh. Contohnya perangkat desa, mulai dari ketua RT hingga camat yang menggunakan kekuasaannya untuk menyerang keberagaman.

Infografik intoleransi di Bantul

Shinta Maharani

Lulus dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Yogyakarta. Menjadi Koresponden Tempo untuk wilayah Yogyakarta sejak 2014. Meminati isu gender, keberagaman, kelompok minoritas, dan hak asasi manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus