SEBUAH pabrik karung goni, berdiri di kota kecamatan Delanggu
Kabupaten Klaten milik PT Perkebunan XVII Persero Semarang.
Pabriknya yang lain masih ada di Jepara dan Surabaya. Tetapi
yang di Delanggu ini, tidak lagi mengepulkan asap. Padahal
kebutuhan akan karung goni demikian banyaknya untuk memenuhi
permintaan pabrik gula.
Anehnya gudang pabrik karung goni Delanggu ini sampai disewakan
kepada Bulog untuk menyimpan beras. "Dibandingkan nganggur dan
kebetulan ada instruksi dari atas," kata Mulyono, sang juru
bicara pabrik membenarkan. Juga pabrik ini memproduksi kebutuhan
lain yang tak ada hubungannya dengan karung atau gula, yaitu
batu bata.
Ir. Soeparno Hardjosaputro, Kepala Bagian Tanaman PTP XVII
menjelaskan kepada Metese Mulyono dari TEMPO, batu bata itu
dibuat pabrik "untuk merendahkan dataran tanah pada persawahan."
Tambahan lagi "pabrik membutuhkan batu bata dan karyawan lagi
nganggur. "
Terhentinya pabrik karung goni yang berdwifungsi itu tentu
bersumber pada tiadanya bahan baku, yaitu serat rosella. Bahan
ini harus ditanam di sawah. Jika pabrik gula punya TRI (tebu
rakyat intensifikasi) maka, agar pabrik tidak larna menganggur
dan terutama permintaan karung goni terpenuhi, PTP XVII Semarang
menelorkan: SRI yaitu Serat Rakyat Intensifikasi. "Dan proyek
ini telah didiskusikan secara mendalam mulai dari tingkat kepala
desa, Bapel/Bapem Bimas Propinsi, jauh sebelum dicetuskan kepada
petani," kata ir. Soeparno.
Lagi pula kata Soeparno "proyek ini menaikkan pendapatan petani
dan memelihara kelestarian lingkungan." Untuk lebih jelasnya,
manfaat tanaman rosella ini, Soeparno bercerita, bahwa rosella
bisa meninggalkan pupuk hijau sebanyak 10 sampai 15 ton di dalam
setiap hektar tanah sawah. Bisa dibayangkan bagaimana suburnya
sawah itu. Jadi, "proyek SRI ini untuk menyela tanaman padi yang
3 kali dalam setahul itu." Tiga kali menanam padi setahun dengan
hasil yang tinggi dan sekali dalam setahun menanam rosella untuk
mengembalikan kesuburan tanah. "Yah kami menyadari hasil
rosella lebih sedikit dibandingkan padi. Tapi proyek SRI ini kan
menciptakan rice fertility management sehingga produksi padi
dapat ditingkatkan secara tepat," ini masih penjelasan ir.
Soeparno.
Sedang komentar Kepala Diperta Klaten Darmono lebih gamblang
lagi. "Tanpa perhitungan jlimet, saya pun tahu kalau padi lebih
banyak keuntungannya," katanya. Tetapi Darmono menyarankan agar
petani yang kena kewajiban tanam rosella berfikir lebih praktis
"bandingkan dengan tanah sawah jika disewa pabrik". Perbandingan
itu, memang beda sekali. Produksi serat rosella per hektar 3.000
kg. Harga pembelian pabrik Rp 105 per kg. Hasil per hektar Rp
315.000. Ada lagi hasil dari kayu rosella yang per hektarnya
(kalau laku) Rp 102.000. Pendapatan petani menjadi Rp 417.000.
Lalu potong kredit sarana produksi Rp 52.880, tinggal Rp
364.120. Nah, coba kalau disewa pabrik, dalam jangka tanam 10
bulan itu, sewa per hektar cuma Rp 150.000. Dengan sistim SRI
ini petani masih untung Rp 214.120 tiap hektar.
Kok Begitu
"Tapi yang itu kan jika disewa pabrik. Kok begitu . . . " ini
bukan omongan pejabat, tapi keluar dari mylut seorang petani di
Juwiring. Roto, petani itu, bukannya buta membuat kalkulasi. Ia
yakin sekali, angka produksi serat dalam perhitungan tadi
dinaikkan. "Jangan-jangan betul seperti ditulis koran hasil per
hektar cuma 1.000 kg serat," katanya. Keresahannya memang jumlah
hasil itu, karena proyek SRI ini baru pemula dan asing bagi
petani sekitar Juwiring. "Bukan masalah membangkang atau tidak
membangkang pada proyek pemerintah, tapi kenapa petani tidak
boleh memilih tanam padi di sawahnya sendiri, kalau hasilnya
diakui lebih baik" Ini gerutuan petani seperti Roto.
Tetapi memang sulit menyimpulkan, kalau petani telah dipaksa
menanam rosella, tanpa boleh memilih. Karena menurut ir.
Soeparno dari PTP XVII yang juga dibenarkan Humas Pemda Klaten
Mas'ud Sutrisno, petani yang "disarankan" menanam rosella telah
menyetujui tanpa protes, ketika gagasan SRI dicetuskan di Kantor
Camat Delanggu 16 Pebruari lalu. Tapi yang dikumpulkan agaknya
bukan petani, namun para kepala desa (lurah) dengan alasan
"supaya lebih sederhana". Celakanya, lurah yang kumpul ini tidak
menanyakan kepada petani bawahannya sebelum berangkat senang
atau tidak menanam rosella.
Lurah Segaran Kec. Delanggu, Susanto misalnya, berkata: "Petani
sudah setuju menanam rosella." Sepulangnya dari Delanggu,
Susanto bingung mengumpulkan tarjet yang diberikan padanya
sebanyak 18 petani. Susanto terpaksa membagikan formulir dan
minta agar petani menaruh cap jempol tanda setuju menanam
rosella. Petani mau, Susanto senang, karena targetnya akan
tercapai. Tapi ketika waktu mengerjakan tanah tiba, pertengahan
Agustus lalu, petani itu mogok. Mereka tak mau mengerjakan
tanahnya. "Ini bertentangan dengan instruksi bupati, bahwa
petani harus menggarap sendiri," ujar Susanto kepada Kastoyo
Ramelan dari TEMPO. Susanto bingung. Karena program mengerjakan
sawah untuk SRI serentak 22 Agustus -- seperti ditentukan PTP
XVII -- maka Susanto membentuk "panitia kelurahan" untuk mencari
tenaga kerja menggarap sawah milik ke 18 petani yang sudah
memberi cap jempol itu. Hasilnya "ya, ini proyek pemerintah
harus jalan. Sudah mulai membuat saluran got di sawah," ujar
Susanto dan menyebutkan tenaga kerja yang didapat "panitia
kelurahan" dibayar Rp 300 per hari tanpa makan.
Mungkin itulah tanda protes dari petani. Soalnya, seperti kata
Suripto seorang dari 18 petani itu -- "kami tidak disuruh
memilih kalau boleh pilih, yah tetap padi."
Sawah yang terkena proyek SRI, memang termasuk sawah subur.
Inipun diakui oleh llumas Pemda Klaten Mas'ud Sutrisno.
Karenanya menurut Sutrisno, di setiap kelurahan tidak semua
sawah kena "wajib tanam rosella". Sebagai perbandingan, cuma 20
prosen yang wajib. Di Kecamatan Juwiring seluas 58 hektar, Kec.
Delanggu 75 hektar, Kec. Wonosari 60 hektar, Kec. Polan 50
hektar dan Kec. Manisrenggo cuma satu hektar.
Di Kecamatan Manisrenggo proyek ini paling mendapat tantangan,
padahal di sini petani sudah biasa menanam rosella. Alasannya
karena harga serat per kg, tidak dinaikkan dari harga lama yaitu
Rp 105. Tentang ini ir. Soeparno dari PTP XVII menjawab "itu
memang harga lama, karena SKP Gubernur untuk harga dalam musim
tanam 1978/79 belum keluar."
Karung Plastik7
Harga baru belum keluar, jadwal pengerjaan sawah sudah dimulai
serentak 22 Agustus untuk mengejar masa tanam September ini.
Itulah kegelisahan yang lain. Konon, ada kelompok petani di
wilayah Manisrenggo yang sampai berucap begini: "Mana yang lebih
penting, karung atau beras? Buat saja karung plastik."
Tentu saja itu mustahil. Karena seperti kata jurubicara pabrik
karung Delanggu, gula yang dibungkus plastik akan mengeras
menjadi kerikil-kerikil. "Kalau gula mengkerikil, pabrik susu
yang protes," lanjutnya. Tapi, petani kan tidak peduli urusan
ini. Dan susahnya lagi, petani di areal program SRI ini sulit
diyakinkan kalau sawahnya suatu waktu akan kurang subur kalau
terusterusan menanam padi, sehingga adanya tanaman rosella
dilihat dari sudut ekonomi semata-mata. Kurang penyuluhan atau
petaninya memang lebih pintar?
Yang pasti program SRI ini berjalan lancar dan menurut pejabat
yang menangani masalah ini di Klaten "tidak ada laporan resmi
mengenai keluhan petani."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini