Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEGAWAI negeri akan dibatasi jumlahnya? Penambahan pegawai negeri dikhawatirkan hanya akan menambah berbelit-belitnya birokrasi perizinan. Itu dikatakan sendiri oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro, dalam rapat kerja dengan Komisi APBN DPR, Rabu pekan lalu. Menurut Menteri, bila jumlah pegawai bertambah, maka, entah kepala bagian, entah seorang direktur, terpaksa akan menciptakan lapangan kerja baru. "Dan pekerjaan pegawai negeri itu melakukan birokrasi, dan birokrasi paling mudah adalah mengatur perizinan," begitu logika Radius. Menteri memberikan contoh soal panjangnya perizinan yang terpaksa diciptakan karena birokrasi itu. Misalnya, rentetan surat izin yang harus dimiliki calon pengusaha. Mula-mula, harus punya surat izin produksi lalu surat izin gudang, kemudian harus ada surat izin usaha perdagangan. Bila usaha itu meliputi luar negeri, harus pula ada surat izin ekspor. Padahal, bisa cukup satu surat izin saja, yakni surat izin usaha, tutur Menteri pula. Tapi, begitukah maksud Menteri Radius? Sebenarnya, yang paling berkepentingan dengan rencana pengangkatan pegawai negeri baru ialah Badan Administrasi dan Kepegawaian Negara (BAKN). Dan menurut kepala badan itu, A.E. Manihuruk, "aturan mengenai formasi pegawai negeri telah diatur dalam PP no. 5 tahun 1976." Dalam peraturan pemerintah itu dicantumkan enam kriteria pengangkatan pegawai baru. Secara ringkas boleh dikatakan, dengan adanya peraturan itu, otomatis tak akan ada pengankatan pegawai baru, bila tak dibutuhkan oleh departemen atau lembaga pemerintah yang lain. Kriteria pertama, yang dituangkan dalam 11 jilid buku a 500 halaman, menggambarkan pekerjaan jenis apa saja yang tersedia bagi pegawai negeri, lengkap dengan uraian tugasnya dan kualifikasi calon pegawai. Misalnya, disebutkan calon kasir harus "tahan mentalnya dan mampu hidup sederhana." Kedua, soal sifat kerja, yakni pekerjaan yang dimaksud apakah harus dikerjakan pada jam kantor (juru ketik misalnya), atau merupakan tugas setiap saat (seperti anggota pemadam kebakaran). Kriteria ketiga mengenai beban kerja. Misalnya, kebutuhan juru ketik di sebuah departemen, tutur Manihuruk, ditentukan oleh banyaknya halaman surat yang dibuat tiap harinya. Kriteria selanjutnya menyangkut pelaksanaan kerja: cukup diborongkan kepada pihak luar atau memang harus ditangani pegawai sendiri. Yang kelima berkaitan dengan peralatan kerja. "Dalam soal ini, pemerintah sering menghadapi dilema, antara efisiensi dan penampungan tenaga kerja," kata Manihuruk pula. Akhirnya, yang keenam, yang agaknya paling penting, yakni soal kemampuan keuangan negara. "Karena soal keuangan ini, pemerintah mulai tahun 1984-1985 terpaksa melakukan prioritas dalam memenuhi permintaan penambahan pegawai negeri," kata Manihuruk. Dan yang diprioritaskan memang klop dengan yang disebutkan Menteri Radius, yakni pegawai untuk Departemen P & K, Departemen Kesehatan, dan BKKBN. Dengan kalimat lain, prioritas penerimaan pegawai negeri tak ada hubungannya dengan apakah birokrasi (perizinan) akan semakin berbelit atau tidak. Dan kepala BAKN ini sangsi, Jangan-jangan pers salah menafsirkan ucapan Menteri Peuangan. Benarkah enam kriteria itu selalu bisa dipatuhi? Kepala Biro Hubungan Masyarakat Depdagri, Feisal Tamin, mengaku membuka lowongan baru "bila saya merasa membutuhkan." Kriterianya? "Semua atasan 'kan dapat merasakan meningkatnya volume pekerjaan atau tidak," jawabnya. Waktu biro ini terbentuk, 1978, Feisal Tamin cuma punya 18 anak buah. Kini di biro itu tercatat 95 pegawai. Dalam waktu 10 tahun belakangan ini kenaikan jumlah pegawai negeri sekitar 64%. Atau, dari 1.449.567 pada tahun 1974 menjadi 2.377.358 pada akhir 1983. Tentu, hanya sekadar angka sulit diukur adakah jumlah itu memang menjadi kebutuhan, atau pemborosan. Departemen P & K yang mempunyai pegawai terbanyak, 1.262.113 (lebih dari setengah jumlah pegawai negeri keseluruhan), toh masih selalu menjerit kekurangan guru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo