Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang bicara cinta
Atas nama Tuhan
Sambil menyiksa, membunuh
Berdasarkan keyakinannya sendiri
POTONGAN syair lagu Cinta karya Iwan Fals itu bisa menggambarkan tragedi Poso. Atas nama agama, mereka saling bunuh. Rasa cinta sesama seolah lenyap berganti amarah dan dendam kesumat. Membunuh menjadi hal yang lumrah di Poso.
Rentetan pertikaian antarpemeluk agama yang terjadi sejak 23 Mei itu telah menelan 120 jiwa dan memaksa puluhan ribu warga tinggal di pengungsian. Beberapa desa terbakar, bahkan habis, seperti yang terjadi pada Desa Maleilegi, di pinggiran kota. Pada 6 Juni silam, ketika warganya yang mayoritas muslim itu sedang tidur, desa tersebut diserang kelompok Kristen. Ratusan rumah, dan sebagian penghuninya yang tidak sempat melarikan diri, hangus terbakar.
Hingga Jumat pekan silam, situasi kota di Sulawesi Tengah itu masih mencekam. Ribuan warga sibuk mengungsi. Tak kurang dari 1.500 aparat, gabungan tentara dan polisi, terlihat berjaga di sudut-sudut jalan kota. Puing-puing bangunan bekas pembakaran masih terlihat berserakan hampir memenuhi penjuru kota berpenduduk 400 ribu jiwa itu.
Jalur darat menuju luar Kota Poso masih tertutup. Batang pohon bertumbangan di jalan-jalan. Drum bekas dan barikade kayu masih terpasang di tengah jalan. Mirip daerah bekas medan pertempuran. Warga sekitar perbatasan Poso juga masih kelihatan berjaga-jaga.
Masyarakat jadi mudah terprovokasi. ’’Kami dengar kelompok merah akan menyerang sehingga kami bersiap-siap,” kata Marwan, yang seperti warga Desa Ampena lainnya siap dengan segala jenis senjata. Warga desa itu mayoritas muslim, sementara ’’kelompok merah” adalah sebutan mereka untuk orang Kristen. Faktanya, serangan tidak terjadi.
Rentetan bentrok terakhir itu berawal ketika pada 23 Mei lalu sekitar 20 orang berpakaian mirip ninja dan berikat kepala merah (lambang kelompok Kristen) membuat keributan di Jalan Irianjaya, Poso. Mereka memukuli tiang listrik di sekitar perumahan orang Islam. Ketika warga setempat terbangun, mereka mengacung-acungkan parang dan golok seperti menantang.
Seorang polisi yang kebetulan lewat, Serma Komarudin, muslim, mencoba melerai. Namun, nahas, ia justru dikeroyok sampai tewas dan pistolnya diambil. Melihat ulah sadis tersebut, warga marah dan melawan. Kelompok Kristen yang belakangan diketahui dipimpin oleh Tibo itu—mantan residivis—melarikan diri dan bersembunyi di sebuah gereja milik Yayasan Santa Theresia.
Polisi yang datang kemudian memblokade kawasan tersebut. Tibo dan kawan-kawannya akhirnya menyerahkan diri ke polisi. Masyarakat yang tidak rela melihat perlakuan kawanan itu menyerbu dan sebagian lagi merusak gereja.
Esok harinya, kelompok berpakaian ala ninja kembali menyerang pos penjagaan warga muslim di Kelurahan Sayo. Sedikitnya tiga warga tewas akibat serangan mendadak dini hari itu. Peristiwa pembantaian menyebar. Aksi balas dendam tidak dapat dihindarkan. Bentrokan kemudian meluas ke berbagai wilayah di Kabupaten Poso (lihat gambar dan tabel).
Pertempuran menjadi tidak seimbang ketika kelompok merah ternyata menggunakan senjata api. ’’Mereka membawa bedil, sedangkan kami hanya bersenjata tombak dan parang,” kata Sugendi Samudin, pemimpin kelompok Islam.
Kejadian yang menimpa Pratu Arfan, anggota Brimob, juga membuktikan hal itu. Ketika menghalau kelompok merah yang hendak menyerang Desa Maleilegi, ia tertembak. Kepada Detik.com yang menemuinya di rumah sakit, Arfan memastikan bahwa senjata yang digunakan kelompok merah itu dari jenis M-16.
Komandan Resor Militer Tadulako, Kolonel Hamdan Nasution, mengakui bahwa sebagian senjata milik kelompok tersebut dirampas dari anggota TNI. ’’Saat melintas di daerah Tentena (Kristen), enam anggota dari Kodam Wirabuana dicegat massa dan direbut senjatanya,” katanya.
Terlepas dari adanya senjata api, perbedaan agama sebagai penyebab pertempuran juga patut dipertanyakan. ’’Selama puluhan tahun, warga muslim dan nonmuslim dari awal hidup berdampingan secara damai,” kata Daltin Tamalagi, sosiolog dari Universitas Tadulako.
Yahya Al-Amri, seorang ulama Poso, melihat agama hanya dipakai sebagai alat kepentingan politik. ’’Akar persoalan Poso adalah perebutan kekuasaan elite politik lokal untuk memegang tampuk pimpinan daerah,” katanya. Untuk menghimpun kekuatan dan mencapai keinginan, katanya lagi, mereka menggunakan umat agama sebagai sarana.
Seorang mantan penyidik dari Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah mendukung pernyataan ulama tadi. Penyebab seluruh konflik ini adalah perebutan jabatan Bupati Poso pada Desember 1998. Herman Parimo, seorang tokoh Kristen yang juga anggota DPRD, ingin menjadi bupati, tapi gagal. Dia dan para pendukungnya menuduh Arif Patangga, bupati yang hendak digantikannya, telah merekayasa kegagalan tadi. Merasa jengkel, kata sumber tersebut, ia kemudian menggalang massa dan menghasut pendukungnya agar menyerang rumah sang Bupati. Pendukung Arif Patangga tidak tinggal diam. Bentrokan pun tak terelakkan.
Dua hari setelah bentrok, Herman Parimo raib. Berbarengan dengan itu, beredar selebaran yang isinya menyebut upaya Herman menjatuhkan bupati yang sah. Kabar itu membuat pendukung Arif Patangga marah. Mereka berbalik melakukan perusakan terhadap rumah Herman dan pendukungnya di Desa Tentena.
Herman sendiri akhirnya dapat ditangkap polisi di Makassar. Penangkapan tersebut membuat pendukungnya marah. Mereka menganggap tindakan polisi itu tidak adil karena si pembuat selebaran, yang menjadi pemicu kerusuhan, tidak ditangkap. Belakangan, pembuat selebaran, Agfar, adik kandung Arif Patangga, akhirnya dibekuk polisi juga.
Di pihak lain, kelompok Arif, yang menjagokan Damsik Ladjalani sebagai bupati baru, juga gagal. Anggota DPRD setempat lebih memilih Muin Pasadan. Hal itu juga membuat pendukung Damsik kesal. Menurut sumber TEMPO di Kepolisian Resor Poso, bentrokan yang terjadi pada akhir Desember 1998 lalu dipicu oleh kekecewaan para pendukung kedua pihak. Sumber tersebut juga menyebut pendukung Damsik ikut membiayai kerusuhan.
Penangkapan Herman Parimo, tokoh yang sangat dihormati oleh kalangan Kristen di sana, membuat para pendukungnya kecewa. Hal itu terlihat dari surat yang dikirimkan Lateka—pemimpin kelompok Kristen—kepada Gubernur Sulawesi Tengah. Menurut mereka, Herman adalah korban rekayasa kelompok Arif Patangga dan, karena itu, harus dibebaskan dan direhabilitasi namanya.
’’Kami tidak sanggup membendung kesabaran ini jika dalang kerusuhan sesungguhnya tidak ditangkap,” begitu sebagian isi surat tertanggal 24 Mei 1999 itu. Permintaan tadi tidak mendapat tanggapan. Herman sendiri akhirnya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Poso dan langsung masuk penjara. Selain itu, kasus Agfar juga diproses oleh pengadilan setempat.
Selesai sudah? Rupanya tidak. Diam-diam, rasa dendam masih tersimpan. Dipicu oleh pertikaian dua pemuda mabuk, Islam dan Kristen, bentrokan besar pecah lagi pada pertengahan April 2000. Kerusuhan pun merebak ke mana-mana.
Isu terjadinya pembantaian membuat perseteruan kedua kelompok semakin menggila. Aksi bunuh dan bakar pun tidak dapat dihindari. Pertikaian kecil yang terjadi tidak jarang berkembang menjadi kerusuhan massal.
Kepentingan elite politik lokal ikut bermain bukanlah isapan jempol. Pengakuan Simon, dari kelompok Kristen, bisa menjadi bukti. Petani asal pegunungan Tokorondo itu mengakui bahwa desanya pernah didatangi sekelompok orang yang mengabarkan akan ada penyerangan. ’’Kami disuruh bersiap-siap untuk melawan penindas,” katanya.
Wajah pemberi perintah itu sendiri tidak bisa dikenali karena selalu mengenakan topeng. Anehnya, Simon dan warga lainnya tidak pernah tahu persoalan apa yang sebenarnya terjadi. ’’Kami hanya diberi perintah untuk menyerang,” ujarnya.
Hal serupa terjadi pada Yeni, 26 tahun, ’’ninja” yang tertangkap dalam aksi 24 Mei. Ia mengaku tidak tahu akan ada penyerangan terhadap warga muslim. ’’Kami hanya disuruh naik mobil dan diberi baju hitam serta ikat kepala merah,” ujarnya. Pemberi baju dan perintah tersebut, menurut pengakuan Yeni, adalah Lateka, pemimpin kelompok merah.
Belakangan, polisi memang sedang gencar memburu Lateka. Pegawai Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah itu dianggap sebagai otak kerusuhan Poso yang terjadi akhir Mei silam. Sayang, sebelum sempat ditangkap polisi, ia keburu tewas pada bentrokan 5 Juni di Desa Kayamaya.
Tewasnya Lateka bukan berarti pertempuran tidak akan terjadi lagi. Apalagi, terdengar kabar, untuk melanjutkan ’’perjuangan”, panglima kelompok merah dialihkan kepada Piter. Dendam kesumat itu tampaknya masih tersimpan. Tinggal bagaimana pemerintah menyelesaikan kasus tersebut.
Johan Budi S.P., Iwan Setiawan, Darlis Muhammad (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo