Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANK Pembangunan Daerah (BPD) Sum-Ut di Medan kebobolan Rp 1
milyar lebih. Musibah itu terjadi ketika orang nasabah
berturut-turut menarik giro dari saldo rekening Pemda Sum-Ut Rp
800 juta dan Rp 400 juta lebih. Baru sebulan kemudian, akhir
Maret lalu, Dirut BPD Sum-Ut mengungkapkannya.
Menurut sumber di kepolisian, pelaku utamanya seorang kontraktor
Medan, yang baru tiga bulan menjadi nasabah. Ia bekerja sama
dengan beberapa orang -- pri dan nonpri. Mereka kini kabarnya
sudah kabur ke luar negeri.
Mereka bekerja dengan menggunakan KTP, akta notaris, nama PT dan
firma serta izin usaha palsu. Mereka juga memalsukan tandatangan
Kepala Kas Daerah A.P. Pasaribu, Bendaharawan F. Gultom, Asisten
Sekwilda T. Putra Azis serta stempel Pemda. Tapi yang menarik:
mereka menggunakan blangko giro asli. Hingga diduga mereka
bekerjasama dengan orang dalam.
Kesan seperti itu bertambah kuat karena rupanya si pelaku
tahu betul dalam rekening Pemda Sum-Ut. Padahal ketika itu tahun
anggaran sudah hampir tutup. Nampaknya petugas bank tidak
meneliti surat pengantarnya -- uang itu dibayarkan untuk proyek
atau pos apa. Seorang pengusaha mengatakan kepada TEMPO,
pengamanan BPD Sum-Ut memang kurang ketat. Itu sebabnya 40
karyawan BPD Sum-Ut dan dua pegawai Pemda diperiksa polisi.
Tujuh tahun lalu BPD Daerah Istimewa Yogyakarta juga pernah
kebobolan. Jumlahnya memang tidak sampai satu milyar. Meski
hanya Rp 260 juta lebih, sempat menggegerkan, sebab melibatkan
Direktur Utamanya serta Sekwilda DIY. Mereka bekerja sama dengan
pengusaha Liem Hartono.
Dalam pengadilan yang berlarut-larut akhirnya, November lalu,
Liem dijatuhi hukuman 17 tahun penjara dan denda Rp 15 juta.
Sedang bekas Dirut BPD, R. Soerjono Tirtodiprodjo, dituntut
hukuman 12 tahun. Vonis yang mestinya jatuh Januari lalu
tertunda karena terdakwa sakit.
Sekarang, BPD Yogya sedang berusha membenahi dirinya. Berlainan
dengan BPD Sum-Ut, yang boleh disebut sebagai kas daerah --
seharusnya fungsinya memang itu -- BPD Yogya belum berperan
sebagai pemegang kas daerah. "Baru sebagian kecil uang Pemda
Provinsi dan Tingkat II yang disimpan di BPD Yogya," kata
Soemarto Pintorahardjo, Direktur Utama yang sekarang.
BPD Yogya smpai sekarang masih menempati rumah tua yang
berhalaman luas di Jalan Jenderal Sudirman. Rumah tua itu disewa
dari Dewan Gereja Jawa Gondokusuman. Di awal bulan, seperti
minggu lalu, bank milik Pemda Yogya itu sepi-sepi saja. "Tapi
kalau sudah tanggal lima ke atas jadi sibuk," kata petugas
perkreditan, Ashari.
Didirikan berdasarkan UU No. 3/1962 BPD, sebagai perangkat
pemda, hanya didirikan di ibukota provinsi. Bedanya dengan
bank-bank pemerintah, yang di bawah Menteri Keuangan, BPD di
bawah Menteri Dalam Negeri.
Suku bunganya 2% -- setengah persen lebih tinggi dibanding suku
bunga bank pemerintah yang lain. "Tapi karena suku bunga itu
ditentukan sendiri, BPD tidak boleh menerima subsidi bunga
deposito dari Bank Indonesia," kata Soemarto.
Saham-saham BPD di mana-mana dipegang Pemda Provinsi dan Pemda
Tingkat II. Setiap tahun Pemda Provinsi rata-rata menyetor Rp 25
juta dari APBD-nya. Sementara Pemda Tingkat II menvetor 10% dari
hasil bersih pendapatan Ipeda.
Menurut Jubir Depdagri, Feisal Tamin, salah satu peranan BPD
ialah menutup dulu biaya pembangunan sesuatu proyek yang
anggarannya sudah ditentukan. Jaminannya? "Kan sudah ada . . .
berupa DIP (Daftar Isian Proyek)," kata Feisal.
Karena itu, dalam keadaan yang sangat mendesak, BPD dapat
memperlancar pembiayaan proyek. "Kalau melalui prosedur bank
biasa berlarut-larut. Pendeknya BPD boleh dikata sebagai upaya
jalan pintas," tambah Feisal. Kecuali di Dili (Tim-Tim), di
setiap ibukota provinsi sudah berdiri BPD.
Rupanya begitu penting peranan BPD. Hingga pemerintah pusat,
melalui Departemen Keuangan, perlu mengeluarkan dana Rp 4 milyar
lebih untuk membantu 16 BPD yang dianggap masih lemah.
Empat Kali
Penandatanganan perjanjian bantuan modal tersebut dilakukan awal
Maret lalu seusai Rapat Kerja BPD seluruh Indonesia di Jakarta.
Perkembangan BPD-BPD itu sendiri menurut Mendagri Amirmachmud
cukup meyakinkan. Selama dua tahun sejak 1978, misalnya kredit
yang disalurkan meningkat dua kali.
Iuran yang dibayarkan kepada negara bahkan meningkat empat kali.
Sedang yang disetorkan kepada Pemda, dalam bentuk dividen, juga
meningkat dua kali lebih. Modalnya pun, selama dua tahun ini,
meningkat dari Rp 17 milyar menjadi hampir 30 milyar.
Itu tidak berarti semua BPD sukses. BPD Ir-Ja, misalnya, pada
1979 pernah tidak dipercayai menyimpan uang. Bank tersebut
dianggap kurang baik pengelolaannya. Buktinya, pernah kebobolan
Rp 1 milyar lebih, berupa kredit macet.
Tahun lalu baru 10% yang tertagih. Tapi menurut Direktur BPD
Ir-Ja, Sri Rahardjo, dengan itu kepercayaan Pemda kini pulih
kembali. "Tapi BPD masih belum berfungsi dengan baik, apalagi
memberi dividen kepada Pemda," kata Sri Rahardjo.
Sepanjang pengamatan Pimpinan Cabang Bank Indonesia Jayapura,
Ngurah Alit Mahawan, kemampuan teknis personil BPD perlu
ditingkatkan. Selama ini BI membantu 50% biaya pendidikan para
karyawan BPD.
Kelemahan personil, juga pengelolaan bank, dialami pula oleh BPD
Nusa Tenggara Timur. "Di NTT sulit sekali mencari orang yang
cocok untuk memimpin BPD," kata Gubernur Ben Mboi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo