Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASEHI ingat Prof. H. Mohamad Koesnoe Awal Juli lalu ia kembali
ke Surabaya dari Amerika Serikat. Dan masih tetap menunggu
panggilan Menteri P&K, berkenaan dengan gugatannya mengenai
kasus dijiplaknya karyanya oleh Prof. Hermien Hadiati Koeswadji,
mahasiswanya di Fakultas Hukum Unair, dulu (TEMPO, 28 April dan
15 September 1979).
Profesor kelahiran Madiun 52 tahun lalu itu sempat memberi
komentar perihal heboh plagiat di USU: "Di Medan itu kasus etik.
Kasus saya kasus hukum."
Tahun 1975, ketika pulang dari Negeri Belanda--ia dosen tamu di
Universitas Katolik Nijmegen -- oleh seorang sahabatnya Koesnoe
disodori buku Sejarah Pembentukan Desa di Lombok karya Hermien.
Ternyata isinya persis sama dengan tulisannya sendiri, tahun
60-an berjudul Desa di Lombok. Dan kemudian ternyata dua buku
karya Hermien.
Anggapan jiplak itu bukan keputusan Koesnoe sendiri. Yayasan
Ilmu-ilmu Sosial di Jakarta, yang membentuk tim peneliti, juga
tim yang dibentuk di Unair sendiri, berkesimpulan sama: karya
Hermien selagian besar sekali memang sama kata demi kata dengan
tulisan Koesnoe.
Hermien, 40-an tlahun dan kelahiran Surabaya, tidak kain,
adalah guru besar Hukum Pidana pertama di Unair. Pernah
mendalami hukum medis 1972-73 di AS, dan kini mengajar Hukum
Medis dan Hukum Kependudukan pada program pasca sarjana di
Unair.
Waktu menjadi Dekan Fakultas Hukum Unair ia membentuk Biro
Bantuan Hukum yang mendirikan klinik hukum di beberapa pelosok
kota Surabaya. Dengan biro itu 140 mahasiswa fakultasnya bisa
prakt k setiap tahunnya.
Berkulit sawo matang, tergolong kurus, dia dikenal pendiam.
Mahasiswanya menilai Hernien sebagai dosen yang paling bisa
memberi kelonggaran. Seorang mahasiswahya yang tak mau disebut
namanya masih ingat: "Bu Hermien paling rendah memberi nilai 4.
Kalau Pak Koesnoe pernah memberi nilai minus satu, bahkan minus
dua."
Ia memang banyak menulis buku, antara lain juga berbahasa
Inggris, The Legal Status of Women in Indonesia terbitan Tek
Seng Press, Singapura.
Adapun Prof. Koesnoe, lulusan Fabultas Hukum UI, memperoleh
doktor maupun profesornya dari Unair, 1965. Memberi kuliah Hukum
Antar Golongan, dan dijuluki mahasiswanya sebagai killer. 1967
pernah diganyang mahasiswa karena keketatan peraturannya. Toh ia
tak membenci mahasiswa. "Mereka ada yang menggerakkan," tuturnya
kepada Dahlan Iskan dari TEMPO.
Pun ketika di akhir 60-an itu Rektor Unair E:ri Sudewo meminta
Koesnoe mengajar lagi, ia menolak--tapi setuju diberi tugas
memimpin Pusat Studi Hukum Adat di situ. Memang lagi mati angin:
1977, rektor baru Unair, Abdul Gani SH, membubarkan pusat studi
itu.
Profesor irli mulai dikenal lewat teorinya "Ajaran memberikan
wujud. dalam hukum adat." Teorinya menentang teori ahli hukum
Belanda, Ter Haar. Koesnoe tak bisa menerima perkara yang
bersangkut dengan adat diputuskan hakim dengan yurisprudensi.
Adapun Prof. Hermien, yang sulit ditemui dan tak bersedia
diwawancara, akhirnya hanya mengatakan: "Kami menunggu saja
keputusan atasan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo