BEKAS Menlu Soebandrio dan eks Panglima AURI (Pangau) Omar Dhani sampai kini masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur. Mereka sedang menjalani hukuman penjara seumur hidup karena terlibat G30S. Mereka dianggap turut mendukung gerakan kudeta yang gagal, Oktober 1965, itu. Bukan cuma mereka, di LP Cipinang itu juga kini terdapat 40-an tokoh PKI maupun pendukungnya yang sedang menjalani hukuman penjara. Beberapa lainnya berada di berbagai LP di luar Jakarta. Di LP Tanjung Gusta, Medan, misalnya, ada bekas Gubernur Sumatera Utara Ulung Sitepu. Dia sedang menjalani hukuman seumur hidup karena terlibat gerakan kudeta yang gagal itu. Mereka dikategorikan sebagai tahanan politik golongan A, yaitu orang-orang yang ikut merencanakan G-30-S atau sebagai pembantu para perencana. Mereka yang tahu rencana G-30-S tapi tak melaporkannya kepada yang berwajib termasuk pula dalam kategori ini. Kemudian, termasuk di sini, orang-orang yang menjadi pelaku langsung G-30-S. Karena itulah, selain tokoh-tokoh puncak PKI, sejumlah eks anggota Cakrabirawa -- pasukan khusus pengamanan presiden, dibubarkan setelah G-30-S -- yang menjadi pasukan inti untuk menculik Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawannya, dikategorikan golongan A. Tak jelas betul berapa banyak tahanan G-30-S yang dimasukkan dalam golongan ini. Yang jelas, mereka inilah yang perkaranya diselesaikan melalui proses peradilan. Untuk mengadili mereka, sampai 1978, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) telah memutus 38 perkara, termasuk di sini perkara Soebandrio, Omar Dhani, dan Ketua Dewan Revolusi eks Letkol. (Cakrabirawa) Untung. Kemudian sejumlah tokoh PKI seperti Nyoto, Nyono, Peris Pardede, dan Syam Kamaruzzaman. Selain oleh Mahmilub, sejumlah 291 perkara diputus oleh Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), dan 466 perkara diputus oleh berbagai pengadilan negeri yang ada. Hukuman yang dijatuhkan terhadap mereka memang hampir semua kelas berat. Sejumlah di antaranya divonis mati, yang lain seumur hidup, atau hukuman pidana penjara 15 sampai 20 tahun. Dari mereka yang divonis mati itu, tak sedikit yang sudah dieksekusi. Antara lain Untung, Syam Kamaruzzaman, Nyoto, Nyono, Sudisman, dan Munir (Ketua SOBSI). Selain mencatat tokoh-tokoh puncak ini LP Cipinang, misalnya, mencatat ada 21 terpidana mati G-30-S, sebagian di antaranya telah dieksekusi. Misalnya Giyadi Wignyosuharyo, eks sersan Cakrabirawa yang memimpin penyerbuan ke rumah KSAD Jenderal Ahmad Yani, dan Sukardjo, anggota Cakrabirawa lainnya yang membunuh Mayjen. D.I. Panjaitan, 16 Oktober 1988, dikeluarkan dari LP Cipinang untuk menjalani eksekusi. Kemudian, Februari yang lalu, empat anggota Cakrabirawa lainnya, yang juga terlibat dalam penculikan para pahlawan revolusi, menjalani eksekusi mati. Mereka adalah eks Sersan Kepala Soleiman, eks Serma. Yohanes Surono, eks Serma. Satar Surjanto, dan Noor Rohayan. Sampai sekarang di LP Cipinang masih ada enam terpidana G-30-S yang telah divonis mati tapi belum dieksekusi. Mereka adalah Ruslan Widjaja Sastra, 71 tahun, Iskandar Subekti, 69 tahun, dan Sukatno, 61 tahun, bekas Ketua Pemuda Rakyat, bekas anggota Front Nasional, dan Fraksi PKI di DPR-GR. Mereka bertiga tertangkap di daerah Blitar Selatan dan sekitarnya, 1968, setelah satuan ABRI berhasil menumpas upaya mereka untuk mengkonsolidasikan pengikutnya di daerah terpencil di Jawa Timur itu. Tiga lainnya ialah Bungkus, Asep Suryaman, dan Marsudi. Lain nasib eks Kapten Suradi dari Brigif I Jaya, komandan pasukan G-30-S yang menduduki RRI Jakarta, 1 Oktober 1965. Ia telah divonis dengan hukuman mati, tapi sebelum sempat dieksekusi, Januari 1982, ia sakit dan meninggal di RS Persahabatan Jakarta. Sekitar 40 tahanan PKI ini mendiami blok B-C dan E-F. Mereka biasa dijuluki di LP Cipinang sebagai tahanan eki, singkatan dari ekstrem kiri. Masih di sekitar blok ini pula mendekam 40-an tahanan eka (ekstrem kanan), yaitu orang-orang dari kelompok Islam ekstrem yang terlibat berbagai perkara subversi. Petugas juru kunci untuk blok eka dan eki ini adalah eks Letkol. A. Latief, 64 tahun, bekas Komandan Brigif Kodam V Jaya, anggota Dewan Revolusi yang telah dijatuhi hukuman seumur hidup. Meski hukuman yang dijalani para narapidana subversi ini semuanya kelas berat, karena sudah mendekam di penjara selama 20-an tahun -- harap diingat G30S itu meletus 25 tahun yang lalu -- tak sedikit di antara mereka yang sudah menyelesaikan masa hukumannya kini kembali hidup di tengah masyarakat bebas. Di antara mereka yang sudah bebas itu ialah Tjugito dan Anwas Tanuamijaya, eks Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP, setingkat letkol.). Tjugito, 69 tahun, anggota pleno CC PKI ini, adalah aktivis organisasi pertanian, perkebunan, dan kehutanan tingkat dunia, yang sebelum meletusnya pemberontakan yang gagal, 1965, amat sering mondar-mandir ke luar negeri. Ia ikut dalam peristiwa Blitar Selatan, dan tertangkap. Sedangkan Anwas, eks pejabat Polri Jakarta itu, tercantum sebagai salah seorang wakil ketua Dewan Revolusi yang diumumkan Letkol. Untung, 1 Oktober 1965. Setelah dibebaskan, Maret 1981, kini Anwas menetap di Jakarta Selatan. Sebenarnya, baik Tjugito maupun Anwas dijatuhi hukuman seumur hidup. Tapi seperti diungkapkan sebuah sumber di LP Cipinang, sesuai dengan Keppres 156 tahun 1950, seorang terpidana seumur hidup bisa mendapat pengurangan hukuman menjadi 20 tahun, bila berkelakuan baik selama di penjara. Ketentuan itulah yang membebaskan Tjugito, April 1985, dan Anwas, Maret 1981. Di tahun 1987, keluar Keppres baru yang mencabut keppres tadi. Akibatnya, terpidana seumur hidup semisal A. Latief, Soebandrio, Omar Dhani, serta beberapa temannya, seperti Rewang, anggota CC PKI yang juga terlibat peristiwa Blitar Selatan, sampai sekarang mendekam di Cipinang. "Kalau grasi yang mereka ajukan kepada Presiden diterima, baru mereka bisa bebas," ujar sumber tadi. Amran Nasution