Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Musim Semi Musik Campursari

Arsip Majalah Tempo edisi 8 April 2002

9 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Musik campursari muncul pada 1960.

  • Sejak 1990, Didi Kempot memiliki peran besar mempopulerkan campursari.

  • Didi Kempot merintis karier dari bawah. Dia bertahun-tahun menjadi pengamen di Solo dan Jakarta.

PENYANYI dan pencipta lagu campursari Didi Kempot meninggal karena serangan jantung pada 5 Mei 2020. Didi adalah salah satu seniman yang mewarnai perjalanan sejarah musik campursari. Sejak awal 1990-an, campursari beberapa kali naik daun dan di sana selalu ada peran Didi Kempot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majalah Tempo edisi 8 April 2002 mengulas Didi Kempot dan musik campursari dalam artikel berjudul “Musik Blasteran yang Ngejoss”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Didi Kempot, membuat lagu bukan hal yang susah. Bayangkan, dalam 55 bulan ia sudah menerbitkan 46 album rekaman berisi ratusan lagu. Bisa jadi Didi adalah penyanyi dan pembuat album rekaman paling produktif.

Membuat lagu lalu menjualnya dalam album rekaman tak hanya memerlukan bakat dan kemampuan mencipta. Lebih dari itu, ia juga harus punya pasar. Inilah yang mengejutkan, pasar macam mana yang mampu menerima banjir album dengan kecepatan superekspres seperti itu. Jawabannya mungkin tak pernah diduga. Didi menggarap satu cabang musik yang selama ini tak banyak “dicangkul” artis lain: musik campursari.

Campursari adalah musik gado-gado. Orang bilang campursari merupakan perkawinan tembang Jawa dan dangdut dengan iringan gamelan dan peralatan musik modern. Jenis musik ini diperkenalkan kembali pada pertengahan 1990-an (setelah pernah nongol pada 1960-an) ketika Manthous, seorang penyanyi sekaliber Didi, menggabungkan karawitan dengan keyboard. Rupanya, perpaduan ini bisa mengisi celah kejenuhan orang terhadap musik pop dan mandeknya keroncong.

Demam campursari juga tampak dalam acara televisi, program radio, dan suguhan hiburan dalam pelbagai keriaan di pelosok Jawa. TVRI Surabaya, misalnya, kini menggeber acara Campursari Interaktif empat kali sebulan, setiap Rabu malam. Padahal, ketika muncul pertama kali tahun lalu, “musik ndeso” ini cuma kebagian jam tayang sekali sebulan.

TVRI Pusat Jakarta juga ikut menyajikan Kelatak-Kelitik Campursari, setiap Ahad siang. Dengan menampilkan maskot Topan dan Leysus, acara itu berhasil menjala banyak pemirsa. Sponsor utama acara ini, produsen jamu Mustikaratu, lantas memperpanjang kontrak program campursari itu hingga setahun ke depan.

Campursari juga semarak di radio. Stasiun radio Angkasa Jaya di Probolinggo, GCD Gunungkidul, dan Ardusa Trenggalek, untuk menyebut beberapa contoh, masih rutin menyiarkan campursari beberapa jam dalam sehari. Gereget campursari menjalar ke bisnis panggung hiburan dalam acara hajatan di kampung-kampung.

Sujiwo Tejo punya teori soal daya tarik campursari. Menurut dalang ngepop itu, campursari menggemaskan karena liriknya encer, gampang dicerna, dan dekat dengan perkara hidup sehari-hari. Persoalan seperti kerepotan beristri dua, jatuh-bangunnya orang kasmaran, atau kebiasaan main dukun pelet diceritakan dengan blakblakan—tanpa pretensi ingin menggurui.

Perjalanan hidup Didi Kempot tidak lepas dari campursari. Dia merintis karier dari bawah. Selama bertahun-tahun sejak 1984 hingga 1989, Didi Prasetyo—begitu nama aslinya—menjadi pengamen jalanan. Daerah operasinya tak pernah beranjak dari kawasan warung tenda Keprabon, Solo, dan belakangan di trotoar perempatan Slipi, Jakarta.

Saking seringnya manggung di pinggir jalan, Didi menggaet tempelan Kempot (akronim Kelompok Pengamen Trotoar) di belakang namanya. Hampir lima tahun Didi hidup menggelandang. Bersama tiga kawannya, dia harus tersaruk-saruk menyusuri panasnya trotoar Jakarta, sekadar mencari uang recehan.

Di masa-masa “kempot” itu, Didi tidur di sembarang tempat. Kalau di Solo ia punya markas: Stasiun Balapan. Di sanalah, di sebuah gerbong rusak, di ujung WC yang bau pesing, Didi makan, tidur, bernapas, dan bertahan hidup. “Gerbong reot itu,” katanya, mengenang “surga” di zaman susah itu, “tempat tidur paling nikmat di dunia.”

Boleh jadi, kenangan atas gerbong reot itu pula yang kemudian memberinya jalan menuju ketenaran. Pada pertengahan 1997, Didi meluncurkan Stasiun Balapan, album rekaman pertamanya yang meledak di pasar. Sejak itu, dia seperti tak pernah surut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus