Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, apakah kewenangan Mahkamah Konstitusi terlalu besar? (20-27 Desember 2006) | ||
Ya | ||
60,5% | 121 | |
Tidak | ||
33,5% | 67 | |
Tidak tahu | ||
6% | 12 | |
Total | 100% | 200 |
Mahkamah Konstitusi hanya memberi waktu tiga tahun kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jika setelah tiga tahun pemerintah dan DPR tidak membuat undang-undang tersendiri yang mengatur Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, lembaga tersebut harus bubar.
”Pasal 53 tentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan Pasal 24 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie saat membacakan putusan itu, Selasa (19/12).
Kendati demikian, Mahkamah mengatakan pengadilan korupsi masih bisa memutuskan perkara hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Permohonan hak uji terhadap Undang-Undang KPK itu diajukan oleh terpidana kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W. Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin, serta beberapa anggota KPU lainnya. Mereka menganggap beberapa pasal dalam Undang-Undang KPK melanggar hak konstitusional sebagai warga negara.
Putusan itu tak ayal memicu kembali keinginan sebagian anggota DPR mengevalua-si kewenangan yang dimiliki Mahkamah.
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, Almuzammil Yusuf mengatakan, tugas Mahkamah Konstitusi adalah menilai apakah sebuah produk undang-undang sejalan dengan undang-undang dasar. Bukan menilai apakah undang-undang itu baik atau dari segi isinya. ”Legislasi itu sudah kewenangan DPR,” ujarnya.
Seorang responden Tempo Interaktif di Jakarta, Maryanto, menilai, dalam mengadili permohonan uji materi, MK ternyata juga berpotensi menjadi tiran baru. ”Jelas ada potensi penyalahgunaan kekuasaan yang tidak dapat dihindari,” katanya.
Sementara itu, B. Simarmata di Depok berpendapat sebaliknya. ”Mereka cukup toleran memberi waktu tiga tahun untuk memperbaiki dasar hukum Peradilan Tipikor,” ujarnya. Sepertiga responden sependapat dengan Simarmata.
Indikator Pekan Ini: Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser, Wiratno, memastikan banjir yang terjadi di Aceh Tamiang disebabkan oleh pembalakan liar (illegal logging) di kawasan itu. ”Kami ada datanya,” katanya. Menurut Wiratno, wilayah Aceh Tamiang memang akan merasakan langsung dampak kerusakan hutan di Gunung Leuser karena kawasan taman nasional seluas 200 ribu hektare itu bersebelahan, bahkan beririsan, dengan Aceh Tamiang. ”Telah terjadi pembiaran selama bertahun-tahun terhadap pembalakan liar di sana,” ujarnya. Hal yang sama dikatakan oleh Irwandi Yusuf, calon terpilih Gubernur Aceh. Bahkan, menurut dia, hal itu juga menyebabkan banjir di pantai timur Aceh dari Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, hingga Langkat, Sumatera Utara, sejak beberapa hari lalu. Setujukah Anda dengan pendapat bahwa bencana banjir di Aceh merupakan dampak dari pembalakan liar (illegal logging)? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo