KUKUDURR . . . eluk, eluk, lak . . . ook. Itu tentu bukan suara
kodok. Tapi suara Nambeng sedang menirukan kokok ayam pelung
dengan sedikit-sedikit diselipi nada-nada Cianjuran. Sebab bagi
laki-laki tua itu suara ayam pelung memang ada hubungan irama
Cianjuran. "Kokok ayam pelung, kalau diterjemahkan kira-kira
berbunyi: kukudur . . . .kukulir . . . ela . . . elu . . .
anugeulis, kukudur . . . anu jangkunggalingkakalerkeun," kata
Nambeng. Artinya: yang cantik, yang jangkung, yang berambut
ikal, datanglah ke utara.
Tak jelas apa maksudnya. Tapi menurut Nambeng, begitulah kokok
ayam pelung jika sedang kesepian dan memanggil-manggil si
betina. Yang pasti suara ayam jenis ini memang terkenal indah,
terutama bagi mereka yang memang senang mengelus-elus ayam
peliharaan. Karena itu seekor pelung bisa mencapai harga Rp
200.000, lebih-lebih karena bulu-bulunya yang warna-warni itu
sedap dipandang.
Menurut Nambeng, salah seorang pe ternak, ayam pelung sekarang
hanya terdapat di desanya, Ciwalen, Kecamatan Warung kondang,
Cianjur. Dari desa ini Iah jenis ayam ini menyebar ke berbagai
tempat, bahkan turut menghias pekarangan maupun kandang
rumah-rumah mewah pejabat tinggi di Jakarta. Desa Ciwalen hampir
tak pernah sepi dikun jungi pemburu-pemburu pelung yan bersedia
membayar dengan harga mahal.
Belut Cincang
Salah seorang pemelihara ayam pelung, Dahlan, mempunyai 3 ekor
pelung yang disimpan dalam sangkar yang indah. "Saya membelinya
tak sampai Rp 100.000," ujar Dahlan. Ketika diadakan kontes ayam
pelung tahun ini, ayam Dahlan menjadi juara II. Seseorang telah
menawar ayamnya seharga Rp 200.000. Tapi Dahlan tidak mau
melepaskan ayamnya. "Saya sayang pada ayam tersebut," kata
Dahlan sambil.menyedot pipanya dalam-dalam.
Dahlan memelihara ayam pelung karena kegemaran. Tapi Nambeng, 63
tahun, selain menggemari, juga menernakkan. Menurut Ismail,
pemelihara dan peternak ayam pelung lainnya di Ciwalen 60%
penduduk desanya beternak ayam jenis ini.
Desa Ciwalen berpenduduk sekitar 1.500 orang, dengan areal
persawahan sekitar 600 ha. "Tetapi penduduk desa saya sebagian
besar berpenghasilan rendah," tukas Abdurrakhman, Kepala Desa
Ciwalen. Sebagian besar menjadi buruh tani dan cuma 10 % saja
yang menggarap sawah miliknya sendiri. Pemilik sawah yang paling
luas, cuma sekitar 2 ha saja. Kabarnya, Ciwalen dan 7 desa
lainnya di Kecamatan Warungkondang adalah penghasil beras
Cianjur yang wangi dan pulen itu.
Sebagai penambah penghasilan, penduduk desa kemudian memelihara
ayam pelung. Itu pun umumnya ayam orang lain yang dititipkan
untuk dipelihara. Ismail misalnya, dari 21 ekor ayam pelung yang
dipeliharanya, miliknya pribadi hanya 3 ekor. Si pemelihara
seperti Ismail mendapat separuh dari hasil pembiakan ayam
tersebut.
Memelihara ayam pelung dengan cara melepasnya dalam kandang
besar atau mengurungnya dalam kandang khusus, satu ayam satu
kandang. Bahkan ada pemelihara yang membuat kandang tinggi
dengan tiang, mirip rumah panggung di daerah Pasundan.
Karena berada dalam kandang, jam makan ayam pelung teratur, tiga
kali sehari. Setelah berumur 8 bulan, makanannya ialah dedak
rebus dicampur daging belut cincang dan tulang-tulang ikan.
Ayam jantan bibit, hanya boleh kawin dengan betina pelung setiap
6 bulan sekali. Satu ayam jantan harus melayani lima betina yang
dibiarkan bebas di dalam kandang yang lebih luas selama kurang
lebih 2 minggu. Sebulan setelah perkawinan tersebut, si betina
biasanya bertelur. Tidak banyak telur ayam jenis ini. Paling
banter sekitar tujuh butir telur dari setiap induk. Yang menetas
juga ( ma sekitar tiga ekor. Bulunya kemilau kemerah-merahan
dengan jengger meah darah di atas kepalanya. Ayam pelung juga
tidak bisa berkelahi, mungkin karena keahliannya cuma
"menyanyi". Berat rata-rata seekor ayam pelung dewasa sekitar 5
kg.
Tasikmalaya
Sebelum 1979, jumlah ayam pelung ini cuma sekitar 100 ekor saja.
Tapi sejak berdirinya Hippap (Himpunan Penggemar Peternak Ayam
Pelung) akhir-akhir ini, jumlahnya telah tercatat sekitar 5.000
ekor. Dengan bantuan Dinas Peternakan Jawa Barat, Hippap sudah
mengadakan kontes dua kali. Yang pertama, 1979 di Cianjur. Yang
terakhir di Padalarang belum lama ini.
Ayam pelung, kata sahibul hikayat berasal dari eyang
Suryakencana, yang dulu pernah menguasai Cianjur. Tapi ada pula
cerita yang menyebut ayam pelung berasal dari Tasikmalaya.
Nambeng membenarkan cerita terakhir ini.
Puluhan tahun yang lalu, kau Nambeng, penduduk Desa Ciwalen
banyak yang mengaji di Tasikmalaya. Di kota ini, ada seorang
guru mengaji terkenal bernama Mamak Gudang. Mak Gudang mempunyai
ayam pelung ini. Setelah si ayam bertelur, kemudian menetaslah
tiga ekor anak ayam (dua ekor jantan danseekor betina). Mak
Gudang menjualnya ke Haji Kosim dari Ciwalen. Itu terjadi di
tahun 1918.
Kosim membeli ayam itu dengan harga 7,5 gulden dan dibawanya ke
Cianjur. Ayam tersebut kemudian dibeli oleh Haji Rais seharga
100 gulden. Ayam Haji Rais ini kemudian berkembang biak. Tahun
1930-an, ayam pelung sudah berkembang biak. Dan ayam yang
bersuara indah itu dipakai oleh para santri untuk membangunkan
penduduk bersembahyang subuh.
Dinamakan pelung, karena kokoknya memelung auu melengkung.
Tingkatan suara ayam ini bermacam-macarm. Suara yang terbaik
ialah kukudur, artinya yang bersuara besar dan melengking. Lagu
kokok ini juga tergantung dari kuker-nya, yaitu variasi
iramanya. "Kalau mendengar kokoknya di pagi hari," kata Nambeng
yang masih keturunan Haji Rais, "linu-linu tulang karena dingin
pagi hari, rasanya jadi hilang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini