Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo membuka program tax amnesty atau pengampunan pajak. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan bahwa peserta amnesti pajak cukup datang ke kantor pelayanan pajak. Bagi wajib pajak yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), pemerintah menyediakan layanan pembuatan NPWP kilat. ”Dalam waktu kurang satu jam NPWP bisa kami keluarkan,” katanya.
Program serupa pernah diberikan Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984. Tempo edisi 28 April 1984 menulis soal itu dengan judul ”Memutihkan Tujuh Dosa”. Isi keputusan itu adalah tujuh macam jenis kewajiban pajak yang masih belum dibayar oleh para wajib pajak, mulai 1983 ke bawah, bakal diampuni.
Ketujuh jenis ”dosa” wajib pajak yang mendapat pengampunan itu adalah tunggakan pajak pendapatan; pajak kekayaan; pajak perseroan atas laba; pajak atas bunga, dividen, dan royalti; pajak wajib pungut; serta pajak penjualan. Untuk mendapat pengampunan, para wajib pajak diharuskan memenuhi berbagai prosedur.
Di antaranya mengisi permohonan pengampunan dan menyampaikan daftar kekayaan per 1 Januari 1984 kepada instansi pajak. Syarat terpenting—mungkin terasa berat—wajib pajak harus jujur dalam memasukkan surat pemberitahuan pajak 1983 sebelum 1 Januari 1984. ”Titik tolak dari sistem perpajakan yang baru adalah bersih. Karena itu, dituntut kejujuran dan keterbukaan masyarakat,” ujar Menteri Koordinator Ekonomi dan Industri dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana ketika mengumumkan aturan baru itu.
Jika tidak jujur, sanksi berupa gugurnya pengampunan pajak dan kewajiban bagi para wajib pajak membayar semua tunggakannya mulai 1980 berikut denda. ”Jika pengisian yang sekarang dilakukan secara jujur, dosa sebelumnya akan diampuni, walau tahun-tahun sebelumnya para wajib pajak terbukti melakukan penyelundupan pajak. Karena itu, tebuslah dosa yang lalu tersebut sekarang ini, selekasnya,” kata Direktur Jenderal Pajak Salamun A.T.
Pengakuan dosa yang diminta Salamun itu dinilai sebagian pengusaha sebagai ”akal-akalan” pemerintah untuk mengumpulkan data dari wajib pajak. ”Sebenarnya pemerintah kan tidak punya data lengkap. Karena itu, mereka meminta data dari wajib pajak sendiri,” ujar seorang pengusaha kelas menengah di daerah Kota, Jakarta Barat.
Akal-akalan atau tidak, banyak pengusaha besar yang menilai tindakan pemerintah itu positif. Keppres itu, menurut Direktur PT Multi Bintang, Tanri Abeng, meringankan para pengusaha untuk tidak membalik-balik lagi pembukuannya tahun-tahun lalu untuk memenuhi undang-undang perpajakan yang baru. ”Dunia usaha dirangsang untuk lebih berorientasi ke masa depan,” ucap produsen Bir Bintang ini.
Direktur Utama PT Mercu Buana Probosutedjo menilai bahwa dari pajak yang masuk ke kas pemerintah hanya berkisar 40 persen. Sebab, selama ini, kata Probo, dalam perpajakan para pengusaha lebih banyak memakai sistem tawar-menawar dengan petugas pajak atau buku ganda. ”Jika pengusaha itu seorang produsen, paling banyak ia akan melaporkan 25 persen dari produksi yang sesungguhnya,” ujarnya.
Maka Probo setuju dengan hubungan yang jujur antara pemerintah dan masyarakat dalam soal pajak itu. Hasilnya, menurut dia, akan menguntungkan kedua pihak. ”Pemerintah akan menerima dana dari pajak yang sesungguhnya dan pengusaha tidak akan lagi merasa dikejar-kejar,” kata Probo, yang merupakan adik seibu Presiden Soeharto.
Cukupkah? ”Kesadaran masyarakat saja belum menjamin kelancaran kebijaksanaan pemerintah dalam hal pajak jika tidak disertai dengan keadilan pajak,” ujar Direktur PT Unilon Textile Industries S. Sinaga di Bandung. Keadilan itu baru tercipta, kata dia, bila tidak ada lagi pengusaha-pengusaha besar yang bebas melalaikan pajaknya—berkat punya relasi di kalangan atas. ”Usaha itu akan berhasil bila pemerintah menerapkan peraturan tersebut tanpa pandang bulu.”
Sinaga menambahkan bahwa kejujuran dalam penanganan pajak yang terpenting justru pada petugas pajak. Si wajib pajak harus merasa terjamin bahwa uang yang dibayarkannya itu akan masuk ke kas negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo