Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUT-ribut soal penyadapan telepon Presiden Habibie dan Jaksa Agung Andi Ghalib rasanya sudah mencapai taraf bikin jenuh. Saran saya, sudahlah, kalau memang ngomong begitu--saya percaya karena relevan dengan tindakan-tindakan pemerintah akhir-akhir ini dan logis bila dilihat dari sudut hubungan historis Presiden Habibie dan Jaksa Agung Andi Ghalib dengan keluarga mantan presiden Soeharto, serta kepentingan bisnis Presiden Habibie, ABRI, dan pejabat tinggi Indonesia lainnya--diam sajalah.
Kalau perlu, agar tetap mendapat simpati dari para pendukung setia dan para petualang politik yang menaruh harapan besar pada Presiden Habibie, minta pengertianlah. Daripada terus-menerus menegakkan benang basah, yang hanya akan mengotori muka sendiri.
Bila disimak dengan saksama, saya kira strategi politik Golkar (Habibie) dan ABRI untuk mengeliminasi mahasiswa, LSM-LSM, dan partai baru yang sulit diajak berkompromi (PDI Perjuangan), mengancam tokoh-tokoh pembangkang, serta menakut-nakuti pers sudah mulai memperlihatkan hasil.
Mahasiswa sudah berpikir panjang jika hendak berdemo karena pemerintah berhasil mendiskreditkan mereka di mata masyarakat dan mengancam melakukan tembak di tempat.
LSM-LSM dan tokoh-tokoh pembangkang juga sudah ragu berkiprah karena ternyata sistem dan penerapan hukum masih seperti dulu. Apalagi pemerintah seolah-olah sudah menghalalkan segala cara untuk menghajar mereka, termasuk dengan rekayasa-rekayasa politik dan ancaman-ancaman teror yang benar-benar dilaksanakan seperti mafia.
Partai-partai non-Golkar sudah pula diadu domba hingga saling memperlemah diri satu sama lain. Ditambah dengan kompromi posisi, praktek money politics, serta unsur ancaman dari dua institusi yang kaya-raya dan bersenjata ini, lengkaplah alasan partai-partai non-Golkar untuk tak banyak cakap lagi.
Dan pers? Apalah daya institusi ini? Banyak media baru, atau media lama yang baru dibeli, yang isinya meng-counter semua berita miring tentang pemerintah dan menjadi corong yang efektif bagi Golkar dan ABRI.
Ditambah dengan gosokan sentimen agama melalui donasi yang melimpah-ruah ke lembaga-lembaga agama yang dipimpin oleh tokoh-tokoh akomodatif--yang di zaman Orde Baru juga menutup mata saja melihat penyelewengan pemerintah, asalkan dana bantuan lancar--lengkaplah sudah kekuatan Golkar dan ABRI untuk memenangi Pemilu Juni 1999.
Jadi, daripada terus-menerus membuat pernyataan yang bikin jengkel, sebaiknya tenang-tenang sajalah menunggu kemenangan yang sudah di tangan. Masyarakat kita kan sudah terbukti lebih suka memikirkan diri dan keluarga mereka sendiri daripada memikirkan kepentingan bangsa. Masyarakat semacam ini sangat gampang dipecah belah, diadu domba, dan dikuasai.
Imran Rusli
Jalan Ciganjur 42, RT 006/001
Cipedak, Jagakarsa, Jakarta 12630
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo