Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Surat

8 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bebaskan Alat Olahraga dari Bea Bagasi Penerbangan

Saya seorang diver, penyuka olahraga selam, merasa iri dengan perlakuan maskapai penerbangan nasional terhadap pelaku olahraga surfing atau golf. Ketika saya menyelam di Bali beberapa waktu lalu, perlengkapan selam saya dikenai charge­ oleh petugas maskapai penerbangan di bandara dengan alasan melebihi berat muatan yang ditentukan, yakni maksimum 20 kilogram, sementara perlengkapan golf dan surfing tidak didenda meskipun melampaui berat sesuai dengan aturan. Kenapa ada perlakuan yang berbeda, mereka hanya bisa menjawab, "Itu kebijaksanaan pimpinan, Pak!"

Saya tidak tahu mengapa muncul kebijaksanaan seperti itu, apakah karena surfing dan golf olahraga mahal atau elite sehingga perusahaan penerbangan memberikan perlakuan berbeda. Saya meminta maskapai penerbangan meninjau kembali kebijaksanaan itu. Berikan perlakuan yang sama terhadap seluruh perlengkapan olahraga. Kami, para penyelam, bakal kian antusias menyelami laut Indonesia dan siap mempromosikan kepada para penyelam dunia bahwa Indonesia adalah sebuah negeri yang memiliki surga bawah laut menawan.

Niko
Pasar Minggu, Jakarta Selatan


Perokok di Stasiun Sudimara Mengesalkan

Saya menyaksikan banyak sekali calon penumpang bebas merokok di sepanjang peron Stasiun Kereta Api Sudimara, Tangerang Selatan, Banten. Anehnya, ulah mereka dibiarkan saja oleh petugas keamanan stasiun kendati telah mengganggu calon penumpang lain, termasuk saya.

Setahu saya, PT KAI sudah mencantumkan spanduk dan tanda dilarang merokok di kawasan stasiun. Tapi hal itu tidak digubris. Kondisi ini berbeda dengan di Stasiun Rawa Buntu, Serpong, Banten. Selain ada tanda dilarang merokok, petugasnya aktif menyerukan pengumuman lewat pengeras suara agar calon penumpang yang ingin merokok melakukannya di ujung peron.

Demikian pula di Stasiun Palmerah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Anggota satuan pengamanannya galak. Mereka bakal menegur calon penumpang nakal bila ada yang terlihat merokok di tengah peron. Salut untuk petugas!

Jarak rumah saya sebagai warga Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, sebenarnya lebih dekat ke Stasiun Sudimara. Tapi saya lebih memilih ke Rawa Buntu karena alasan ketertiban tidak merokok, kenyamanan, dan kebersihan. Mohon perhatian dari PT Kereta Api Indonesia.

Ami
Mahasiswa IPB, Bogor, Jawa Barat


Jalan Rusak Hamburkan Uang

Banyak orang bilang Kota Jakarta merupakan etalasenya Indonesia bagi turis ataupun tamu asing yang ingin mengetahui Indonesia. Sebagai etalase, tentunya Jakarta perlu ditata dan dirapikan layaknya yang dilakukan para pemilik toko agar dagangannya dilirik pembeli dan laku.

Namun, sebagai pengguna jalan yang sehari-hari menjelajahi Jakarta, terkait dengan profesi saya, saya merasakan kondisi jalanannya sangat memprihatinkan dalam beberapa tahun terakhir. Jalan-jalan utama acap berlubang, terutama pada musim hujan, dibiarkan hingga lama baru kemudian diperbaiki.

Sebut saja Jalan Jenderal Gatot Subroto dan Jembatan Semanggi yang bersejarah. Jalan yang termasuk akses utama di ibu kota negara ini sudah beberapa tahun tak pernah mulus. Sampai hari ini pun masih saja ada lubang menganga (lihat di Jembatan Semanggi dari arah Polda Metro Jaya menuju Grogol) yang setiap saat dapat mencelakakan pengguna jalan.

Terakhir saya merasakan jalanan di Jakarta lumayan bagus dan bila rusak cepat diperbaiki adalah pada masa Gubernur Sutiyoso. Setelah era Bang Yos—demikian beliau biasa disapa—banyak lubang dan acap dibiarkan berbulan-bulan baru diperbaiki.

Kalaupun kemudian diperbaiki, di bekas lubang yang ditambal itu permukaannya biasanya menjadi lebih tinggi atau lebih rendah. Akibatnya, ketika para pengguna jalan melewati­nya (terutama pengendara sepeda motor), kendaraannya akan terlonjak. Bila pengemudi kurang berhati-hati dan melintas dalam kecepatan tinggi, kendaraan bisa oleng.

Yang menjadi pertanyaan, apakah setelah 69 tahun Indonesia merdeka kita tidak punya insinyur yang dapat memperbaiki jalan rusak menjadi langsung mulus? Ataukah kita tidak memiliki tenaga penguji kualitas jalan yang memadai agar jalan-jalan di Jakarta tidak cepat rusak?

Saya yakin kerugian akibat kondisi jalan yang kurang baik bila dihitung dengan teliti jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Sayang kalau terhambur hanya karena kita kurang teliti dan kurang serius menangani jalan-jalan kita.

Agus Baharudin
Jalan Industri Kapal (Dalam) Nomor 9
RT 007 RW 011, Kelurahan Tugu
Cimanggis, Depok, Jawa Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus