Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Berdasarkan penelitian ilmiah, ekspektasi atau harapan orang lain ternyata dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Ekspektasi negatif akan mempengaruhi kinerja secara negatif dan sebaliknya. Fenomena ini disebut sebagai efek Pygmalion.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dilansir dari laman Universitas Duquesne, Pennsylvania, Amerika Serikat, Senin, 6 September 2021, efek Pygmalion pertama kali dikenalkan oleh Rosenthal dan Jacobsen pada 1968. Keduanya meneliti para siswa di sekolah dasar yang mengikuti prates kecerdasan.
Dari seluruh peserta, Rosenthal dan Jacobsen memilih 20 persen siswa secara acak. Kepada guru, mereka mengatakan bahwa 20 persen siswa tersebut akan menunjukan potensi pertumbuhan intelektual yang luar biasa. Delapan bulan kemudian, para siswa yang dipilih ini ternyata mendapat skor ujian yang jauh lebih tinggi dari siswa lain.
Menurut Rosenthal dan Jacobson, ketika seseorang mengharapkan perilaku tertentu dari orang lain, maka mereka cenderung bertindak dengan cara yang membuat perilaku yang diharapkan lebih mungkin terjadi.
James Rem dalam bukunya “Pygmalion in the classroom” mengatakan jika seorang guru berpikir siswanya tidak dapat mencapai banyak hal, tidak terlalu pintar, mereka mungkin cenderung untuk mengajarkan hal-hal sederhana dan memunculkan nuansa kegagalan. Sebaliknya, pengajar yang menghargai kemampuan anak didiknya akan menciptakan iklim kesuksesan.
Nama Pygmalion diambil dari pematung yang ada dalam mitologi Yunani. Suatu hari, Pygmalion membuat patung wanita yang sangat cantik. Karena terpesona dengan patung buatannya sendiri, ia memohon pada dewa agar memberinya istri yang menyerupai patung tersebut. Para dewa lantas mengabulkan permintaannya dan patung itu menjadi hidup.
Kisah pematung Yunani yang suka berpikir positif tersebut menjadi dasar penamaan teori efek Pygmalion ini.
SITI NUR RAHMAWATI
Baca juga: