Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Isu pemecatan sementara dokter Terawan Agus Putranto Sp.Rad oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kian ramai dibicarakan. Pemecatan sementara yang terhitung sejak 25 Februari 2018 dan terhitung selama 12 bulan itu juga mencabut izin praktik dokter dengan pangkat Mayor Jenderal TNI itu karena melakukan pelanggaran etik yang berat, yakni metode "cuci otak".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Metode cuci otak dengan Digital Substracion Angiography (DSA) diklaim bisa membersihkan penyumbatan darah menuju otak. Metode yang menjadi primadona para penderita stroke itu dianggap konyol oleh para dokter ahli saraf. Kementerian Kesehatan pun mempertanyakan metodenya karena belum menjalani uji klinis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pernah, tepatnya pada 2013, Ketua Persatuan Dokter Syaraf Seluruh Indonesia Indonesia (Perdossi) Prof. Dr. dr. Hasan Machfoed, SpS (K), MS, menyatakan pertentangan terhadap apa yang dilakukan dokter ahli radiologi tersebut. "Brain washing itu enggak ada dalam istilah medis, itu cuma buat ajang promosi saja biar kesannya attractive," katanya ketika itu, seperti dikutip dari laman Bisnis.com.
Menurut dia, cuci otak itu bukan terapi, apalagi tindakan pencegahan. Metode itu hanyalah prosedur diagnosis saja. Dia menganalogikannya dengan metode rontgen. Ketika orang dipindai menggunakan sinar-X untuk diketahui apakah ada masalah dengan organnya, orang tidak bisa langsung sembuh karena itu hanya metode mendiagnosis, bukan terapi, apalagi tindakan prevensi.
Letkol CKM dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad, dokter Spesialis radiologi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Dok.TEMPO/ Jacky Rachmansyah
Kontrovesi metode penyembuhan penyakit juga pernah menyerang ilmuwan teknik elektro lulusan Shizuoka University Jepang, Warsito Purwo Teruno, pada 2015. Warsito menemukan alat yang diklaim bisa membunuh sel kanker dengan tepat dengan alat electro capacitance cancer therapy (ECCT) dan mendiagnosa sel kanker secara tepat dengan alat electro capacitance volume tomography (ECVT).
Itu karena alat ECVT dan ECCT menggunakan gelombang pinggiran (fringing effect method). Pada pengembangan teknologi umumnya hanya memakai gelombang utama. Alat ini telah digunakan di klinik riset kanker yang dioperasikan PT Edward Technology di Tangerang, Banten. Kontroversi metode ECCT dan ECVT pun berimbas pada penertiban klinik tersebut oleh Kementerian Kesehatan.
Kementerian beralasan klinik PT Edward telah melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tahapan proses penelitian yang sudah ditetapkan badan penelitian dan pengembangan Kemenkes. PT Edward Technology memang sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Balitbang Kesehatan.
Nota ini guna melanjutkan kegiatan penelitian ECVT untuk pencitraan medis dan penelitian pemanfaatan ECCT untuk terapi kanker. Namun perjanjian kerja sama tersebut tidak ada kepastiannya. Dengan anggaran pribadi, penelitian ini tetap dilanjutkan. Penelitian untuk membuktikan ECCT dan ECVT dilakukan dengan instansi penelitian lain yang memiliki kredibilitas tinggi.
Lepas dari kontroversi tersebut, alat ECCT dan ECVT Warsito menyabet B.J. Habibie Technology Award 2015 dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada Agustus 2015. BPPT menilai inovasi Warsito tentang medan listrik statis bisa membantu pengembangan dunia medis dan industri.
Warsito menunjukkan alat Electronic Capacity Cancer Therapy (ECCT) di CTECH Lab Edwar Technology, Tangerang Selatan, 11 Januari 2016. Dr. Warsito P. Taruno, M.Eng, merupakan salah seorang peneliti Indonesia yang pernah berkarier di Shizuoka University, Jepang, sebagai dosen. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
Simak kabar terbaru tentang dokter Terawan hanya di kanal Tekno Tempo.co.