Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Virus ebola dalam setahun belakangan ini telah menjadi teror tersendiri di Afrika, terutama Afrika Barat. Epidemi ini telah memberangus lebih dari 10 ribu jiwa dan sangat menular.
Namun ternyata, dalam dua dekade ke belakang, ebola telah menyerang hewan dengan gejala yang hampir sama, yaitu flu berat disertai pendarahan hebat. Virus dengan kode EHV atau EVD itu menjangkiti ribuan spesies kera raksasa di Afrika dengan presentasi kematian 95 persen.
Pakar ekologi dan biologi dari University of California, A. Marm Kilpatrick, mengatakan bukan tak mungkin virus menyebar dari manusia ke hewan liar dan sebaliknya. “Hal ini karena tingginya aktivitas perdagangan dan perjalan, sehingga patogen menjangkau lokasi baru,” katanya.
Seperti dilansir BBC, Jumat, 27 Maret 2015, awal 1990-an, ebola menyerang simpanse yang tinggal di Taman Nasional Tai, Pantai Gading. Pada waktu yang sama, populasi gorila di Kongo berkurang drastis akibat ebola.
Pada periode 2002-2003, ebola kembali membunuh 5.000 gorila di pusat penangkaran primata Lossi Sanctuary, Pantai Gading. Setahun kemudian, ratusan gorila di Taman Nasional Odzala, Kongo, menjadi korban selanjutnya.
Menurut ekologis dari Bangor University, Inggris, Julia P. G. Jones, kasus seperti ini bukan tak mungkin terulang kembali. "Efek ebola bisa semakin buruk jika perburuan dan penebangan hutan yang mengancam ekosistem hewan terus berlanjut," ujarnya.
Vaksin yang sedang dikembangkan belakangan ini dipercaya bisa digunakan mengobati spesies kera raksasa, karena kera kerap dijadikan kelinci percobaan vaksin.
BBC | ANDI RUSLI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini