Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Titik Terang Si Gelap

Astronom Amerika menemukan bukti keberadaan materi gelap. Temuan dua pekan lalu itu menguatkan kebenaran teori Dentuman Besar.

28 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkaran itu begitu mengganggu mata Myungkook James Jee. Astronom Universitas Johns Hopkins, Maryland, ini baru saja memeriksa hasil foto teleskop ruang angkasa Hubble. Teleskop memperlihatkan gambar lingkaran seperti riak air ketika kita melempar batu ke sungai. Lingkaran itu samar membentuk cincin.

Ketua tim riset astronomi ini mengira lingkaran samar itu merupakan kesalahan pengolahan data. Nyatanya, cincin ini merupakan bukti paling kuat yang menunjukkan keberadaan materi gelap (dark matter), misteri yang selama 74 tahun tak terjawab. Eureka!

Sudah lebih dari setahun Jee bersama timnya berusaha memecahkan misteri tersebut. Mereka memetakan penyebaran materi ini di dalam gugusan galaksi ZwC10024+1652. Tak kunjung ketemu, baru dua pekan lalu Jee yakin telah menemukan titik terang. Astronom itu menulis di dalam situs Hubble, ”Cincin ini terdeteksi nyata.”

Fenomena materi gelap pertama kali dicetuskan ahli astrofisika asal Swiss, Fritz Zwicky, pada 1933. Ia tengah menghitung diameter dan distribusi massa materi dalam sebuah galaksi. Peneliti asal Institut Teknologi California ini menghitung kecepatan angular dari benda yang terletak di tepi galaksi. Gampangnya, ”Seperti memutar piring, kecepatan angular adalah bagaimana menghitung kecepatan putar tepi piring,” kata Febdian Rusydi dari Grup Riset Astropartikel Universitas Airlangga.

Dengan memakai persamaan gerak Newton, hitungan Zwicky ternyata berbeda dengan hasil pengamatannya. Zwicky berkesimpulan masih ada massa di dalam galaksi yang belum terhitung. Kenapa tidak bisa dihitung? Karena tak bisa diamati oleh teknologi yang bekerja di bawah interaksi elektromagnetik. Massa yang tidak teridentifikasi inilah yang kemudian disebut materi gelap.

Diam begitu lama, materi gelap hanya hidup dalam hitungan matematika. Misteri keteraturan alam semesta pun menunggu waktu sekian lama untuk bisa dijelaskan dengan lebih sempurna. Begitu pula teori terbentuknya alam semesta. Apakah teori Dentuman Besar kian sahih untuk dipercaya? Penemuan cincin ini membuka jalan bagi jawaban atas pelbagai pertanyaan itu.

Cincin ini berada di sebuah gugusan galaksi yang jaraknya lima miliar tahun cahaya dari bumi. Garis tengahnya 2,6 juta tahun cahaya. Satuan ini menggambarkan jarak yang bisa ditempuh cahaya dalam setahun atau sekitar 9,5 triliun kilometer. Cincin ini diduga berasal dari gugusan galaksi yang bertabrakan dua miliar tahun lalu. Tabrakan itu terjadi sejajar dengan arah pandang dari bumi sehingga struktur materi gelap terlihat seperti cincin.

Sebenarnya materi gelap sulit ditangkap oleh teleskop karena tidak memancarkan dan memantulkan radiasi elektromagnetik. Manusia bisa melihat benda karena cahaya berinteraksi dengan benda dan mata kita di bawah pengaruh elektromagnetik. Tapi materi gelap memiliki massa. Gaya gravitasi dari massa ini sanggup untuk membelokkan cahaya. Pembelokan cahaya inilah yang diamati tim internasional astronomi Johns Hopkins. Berkas cahaya yang bengkok dengan pola tertentu tersebut lalu diamati.

Tim Johns Hopkins kemudian memve-rifikasi temuan cincin dengan hasil penelitian badan antariksa Amerika Serikat, NASA, pada 1989. Saat itu NASA mencoba menguji keberadaan materi gelap melalui proyek Cobe—Cosmic Background Explorer. Proyek ini memperoleh hadiah Nobel pada tahun lalu.

Jee menyebut bentuk cincin si Gelap berbeda dengan Helix Nebula, yang merupakan cikal bakal bintang dari kumpulan gas dan debu. Nebula berasal dari kata Yunani yang berarti awan. Penampakannya seperti bercak awan di langit malam. Cincin materi gelap lebih menyerupai bentuk mata. ”Dalam kacamata agama, banyak yang menyebutnya sebagai wujud mata Tuhan,” begitu komentar beberapa pengunjung situs Badastronomy yang menulis soal materi gelap.

Febdian menyebut penemuan materi gelap ini sebagai langkah besar bagi ilmu pengetahuan. Master Universitas Groningen, Belanda, jurusan fisika ini mengatakan sains yang dipahami hingga kini hanya berdasarkan materi normal—yang selama ini bisa ditangkap oleh teleskop. Padahal materi normal itu hanya empat persen dari total alam semesta. Artinya, sains seperti fisika, kimia, biologi, dan kedokteran baru memanfaatkan empat persen alam semesta. ”Itu pun belum sempurna dipahami,” ujar Febdian. Sisanya, 22 persen adalah materi gelap dan 74 persen merupakan energi gelap (dark energy).

Menurut Febdian, terkuaknya kehadiran materi gelap semakin menguatkan kebenaran teori Dentuman Besar atau dikenal dengan Big Bang, teori yang menjelaskan perkembangan dan bentuk awal alam semesta. Teori ini menyebutkan alam semesta terbentuk dari ledakan kuat sekitar 13,7 miliar tahun lalu. Ledakan kemudian melontarkan materi dalam jumlah amat besar ke segala penjuru alam semesta dan mengisi alam semesta dalam bentuk bintang, planet, debu kosmis, meteor, energi, dan partikel lainnya. ”Penemuan materi gelap bisa menguji benar-tidaknya teori atau model alam semesta kita,” kata Febdian.

Obsesi para fisikawan astropartikel yang ingin mengetahui apa yang terjadi saat usia alam semesta pada 0 detik pun kian menuju titik terang. Obsesi ini terkait dengan penyusunan sebuah teori tunggal yang bisa menjelaskan segala sesuatu (Theory of Everything). Materi gelap adalah salah satu tahapan bagi penyusunan teori tunggal ini.

Namun tim Johns Hopkins masih jauh untuk bisa menjawab partikel apa yang menyusun materi gelap. Astronom dari Cal Tech, Richard Massey, bahkan masih meragukan temuan itu. Massey mengatakan teleskop yang hanya mengandalkan interaksi radiasi akan tidak cukup jelas menangkap materi gelap.

Menurut Massey, penemuan ini bisa diperkuat dengan penelitian melalui teleskop ruang angkasa James Webb. Tapi teleskop inframerah ini baru akan diluncurkan pada 2013. ”Satu instrumen belum cukup meyakinkan,” katanya.

Yandi M.R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus